Tampilkan postingan dengan label Tata_Cara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tata_Cara. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 Maret 2016

Tata Cara Memuliakan Tamu Dalam Islam

Memuliakan atau menghormati tamu merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Maka wajib bagi kita untuk menghormati dan memuliakannya, karena itu merupakan akhlak yang mulia yang telah diajarkan oleh Allah kepada utusan-Nya sebagai penyempurna Risalah yang mereka pikul.

Begitu besarnya hak tamu, ada peringatan bagi orang yang tidak mengindahkan tamunya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لَا يُضِيْفُ
“Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak menjamu tamu”. (HR Ahmad. Lihat ash-Shahîhah, no. 2434).

Bahkan memuliakan tamu juga menjadi salah satu tanda tingkat keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir.
Tata Cara Memuliakan Tamu Dalam Islam disertai tata cara sesuai contoh Rasulullah

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan menyakiti tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah menghormati tamunya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)

Memberi jamuan kepada tamu, merupakan kebiasaan sudah berkembang sejak lama, sebelum risalah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam diturunkan. Yang pertama kali melakukan perbuatan yang mulia ini, ialah Nabi Ibrâhiim Khalîlur Rahmân Alaihissalam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

كَانَ أَوَّلَ مَنْ ضَيَّفَ الضَّيْفَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلامُ
“Orang yang pertama kali memberi suguhan kepada tamu adalah Ibrâhîm ‘alaihissalam. (Lihat ash-Shahîhah, 725).

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kisah Ibrahim ‘Alaihissalam yang menghormati tamunya dengan jamuan yang terbaik. Allah Ta'ala berfirman:

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ (24) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا ۖقَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (25) فَرَاغَ إِلَىٰ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ (26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (27)

"Adakah sudah datang padamu cerita tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ketika mereka masuk kepada Ibrahim dan mengucapkan: "Salam -selamat-." Ibrahim menjawab: "Salam," sedang dalam hatinya ia mengatakan: "Kaum -atau orang-orang- yang tidak dikenal." Kemudian ia dengan diam-diam pergi kepada keluarganya, lalu datang dengan membawa daging anak sapi yang gemuk. Selanjutnya makanan itu dihidangkan kepada mereka, ia berkata: "Mengapa tidak engkau semua makan?" (QS. adz-Dzariyat {51} : 24)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya memberi jamuan kepada tamu (dhiyâfah) termasuk sunnah (tradisi) Nabi Ibrâhîm yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan umatnya untuk mengikuti millah (ajaran) beliau. Di sini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kisah ini (surat adz-Dzâriyât) sebagai pujian dan sanjungan bagi beliau”. (Tafsir as-Sa’di)

Ayat-ayat ini mengatur tata-cara menjamu tamu, antara lain sebagai berikut;
  • Menjawab ucapan salam dari tamu dengan jawaban yang lebih sempurna.
  • Nabi Ibrâhîm Alaihissalam tidak bertanya terlebih dahulu: “Apakah kalian mau hidangan dari kami?”
  • Nabi Ibrâhîm Alaihissalam bersegera menyuguhkan makanan kepada tamu. Dikatakan oleh Syaikh as-Sa’di bahwa sebaik-baik kebajikan ialah yang disegerakan. Karena itu, Nabi Ibrâhîm Alaihissalam cepat-cepat menyuguhkan jamuan kepada para tamunya.
  • Menyuguhkan makanan terbaik yang beliau miliki, Yakni, daging anak sapi yang gemuk dan dibakar. Pada mulanya, daging tersebut tidak diperuntukkan untuk tamu. Akan tetapi, ketika ada tamu yang datang, maka apa yang sudah ada, beliau hidangkan kepada para tamu.
  • Menyediakan stok bahan makanan di rumah untuk kedatangan tamu.
  • Mendekatkan jamuan kepada para tamu dengan meletakkan jamuan makanan di hadapan mereka. Tidak menaruhnya di tempat yang berjarak dan terpisah dari tamu, hingga harus meminta para tamunya untuk mendekati tempat tersebut, dengan memanggil, -misalnya- “kemarilah, wahai para tamu”. Cara ini untuk lebih meringankan para tamu.
  • Melayani tamu-tamunya sendiri. Tidak meminta bantuan orang lain, apalagi meminta tamu untuk membantunya, karena meminta bantuan kepada tamu termasuk perbuatan yang tidak etis.
  • Bertutur kata sopan dan lembut kepada tamu, terutama tatkala menyuguhkan jamuan. Dalam hal ini, Nabi Ibrâhîm Alaihissallam menawarkannya dengan lembut: “Sudikah kalian menikmati makanan kami (silahkan kamu makan)?” Beliau Alaihissalam tidak menggunakan nada perintah, seperti: “Ayo, makan”. Oleh karena itu, sebagai tuan rumah, seseorang harus memilih tutur kata simpatik lagi lembut, sesuai dengan situasinya.
  • Memberikan perlakuan yang baik kepada tamunya. Allah menceritakan perihal mereka di rumah Nabi Ibrâhîm Alaihissalam dengan sifat mukramûn (memperoleh kemuliaan).

MENGUCAPKAN SELAMAT DATANG KEPADA PARA TAMU

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى
“Marhaban – yakni selamat datang – kepada rombongan yang datang tanpa kehinaan dan tanpa penyesalan “ (HR. Al-Bukhari ( 6176 ) dan Muslim ( 17 ))

Marhaban, diartikan sebagai kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu. Kata marhaban sama dengan kata ahlan wa sahlan, yang di dalam kamus berarti selamat datang. Walaupun keduanya sama-sama berarti selamat datang, namun penggunaannya berbeda.

Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti luas atau lapang, sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu akan disambut dan diterima dengan lapang dada, penuh kegembiraan, dan dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan marhaban, terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti “ruangan luas untuk kendaraan”.

Dan yang tidak disangsikan lagi, bahwa seseorang menyambut para tamunya dengan ungkapan-ungkapan selamat datang dan yang serupa dengannya akan menanamkan rasa sukacita dan kedekatan terhadap mereka. Dan hal tersebut dibenarkan dengan kenyataan.

MENJAMU TAMU SELAMA TIGA HARI

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ . قَالُوا: وَمَا جَائِزَتُهُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: يَوْمٌ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَالِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya yaitu jaizah-nya.” Para shahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan jaizah itu, wahai Rasulullah?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Jaizah itu adalah menjamu satu hari satu malam (dengan jamuan yang lebih istimewa dibanding hari yang setelahnya). Sedangkan penjamuan itu adalah tiga hari adapun selebihnya adalah shadaqah.” (HR. Al Bukhari no. 6135 dan Muslim no. 1726, hadits dari Abu Syuraih Al ‘Adawi, lihat Fathul Bari hadits no. 6135)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقِيمَ عِنْدَ أَخِيهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ قَالَ يُقِيمُ عِنْدَهُ وَلَا شَيْءَ لَهُ يَقْرِيهِ بِهِ

”Bertamu itu selama tiga hari, dan jaizahnya siang dan malam, dan tidaklah dihalalkan bagi seorang muslim berdiam di sisi saudaranya hingga menjadikannya berdosa”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah bagaimanakah dia berbuat dosa kepadanya?”. Beliau berkata: “Dia berdiam di sisinya, dan tidak ada sesuatupun untuknya yang bisa dia jamu dengannya”. (HR. Al-Bukhari no. 6135 dan Muslim no. 48 Kitab AL-Luqathah, lafazh miliknya)

Di dalam hadits ini terdapat larangan tentang tinggalnya seorang tamu lebih dari tiga hari, agar tuan rumah tidak menjerumuskannya kepada persangkaan yang tidak diperbolehkan, atau mengghibah diriya atau lain sebagainya. Al-Khaththabi mengatakan: “Tidak halal bagi tamu berdiam di sisinya setelah tiga hari tanpa adanya ajakan, yang akan menjadikan dadanya sempit dan amalnya menjadi batal.” (Ghizaa`u Al-Albab karya As-Safariini ( 2 / 159 ))

Ibnul Jauzi mengatakan dalam menerangkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hingga menjadikannya berdosa“, hal itu apabila tidak ada suatu yang menjadi alasan jamuannya, maka dengan berdiamnya dia akan menjadikan ketidaksenangan. Terkadang dirinya akan disinggung dengan penyebutan yang buruk, dan terkadang diapun akan menjadi berdosa dalam pemberian yang diinfakkannya kepada si tamu“ (Al-Qaul Mufid ‘ala Kitabuttauhid (3/113).

Akan tetapi terkecualikan apabila si tamu mengetahui bahwa yang menjamunya tidak membenci hal itu, atau memintanya untuk lebih lama lagi tinggal di tempat itu. Adapun jika si tamu merasa ragu akan keadaan yang menjamu, maka lebih utama dia tidak berdiam diri melebihi tiga hari.

SESUAI DENGAN KEMAMPUAN

Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik.

Dari Sulaiman radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

نَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اهُa عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ نَتَكَلَّفَ لِلضَّيْفِ مَا لَيْسَ عِنْدَنَا
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang kami memaksakan diri dalam menjamu tamu dengan sesuatu yang diluar kemampuan.” (HR. Al Bukhari, Ahmad, dan lainnya)

DISENANGI KELUAR BERSAMA TAMU HINGGA KE PINTU

Perbuatan ini termasuk dalam bagian kesempurnaan menjamu tamu, dan kebaikan dalam melayani tamu. Dan menyertainya hingga dia berlalu dari rumah. Dan tidak satupun hadits yang marfu’ dan shahih yang dapat dijadikan pedoman akan hal itu. Hanya beberapa atsar dari Salaf umat ini dan para Imam mereka.

Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallam mengunjungi Ahmad bin Hanbal, Abu ‘Ubaid berkata:

فَلَمَّا أَرَدْتُ القِيَامَ قَامَ مَعِي , قُلْتُ : لاَ تَفْعَلْ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ , فَقَالَ : قَالَ الشَعْبِي : مِنْ تَمَامِ زِيَارَةِ الزَائِر أَنْ تَمْشِي مَعَهُ إِلَى بَابِ الدَّارِ وَتَأْخُذ بَرَكَاتَهُ
“Dan ketika saya hendak berdiri, beliau berdiri menyertaiku. Saya berkata: Janganlah anda melakukan hal itu wahai Abu Abdillah. Beliau bekata : Asy-Sa’bi mengatakan: Termasuk kesempurnaan ziarah seorang tamu, adalah anda menyertainya hingga ke pintu rumah dan anda mengambil berkahnya … “ (Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 3 / 227 ))

Tata cara bertamu dalam ajaran Islam

Tata cara bertamu dalam ajaran Islam -  Agama Islam telah membimbing dan mendidik umatnya ketika hendak memasuki rumah rumah- yang bukan milik mereka agar memperhatikan hal-hal berikut ini:

Tidak boleh Masuk Rumah Walaupun Terbuka Pintunya

Rumah yang terbuka pintunya belum tentu ada penghuninya. Sekalipun ada penghuninya, tamu dilarang masuk, karena persyaratan boleh masuk rumah orang lain harus mendapatkan izin, sebagaimana ayat di atas yang menjelaskan, Jika kamu tidak menemui siapapun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapatkan izin.

Mengetuk Pintu dengan Perlahan.

Jangan mengetuk pintu dengan keras hingga membuat terkejut tuan rumah. Demikian juga jangan menekan bel terus menerus meskipun ia pemilik rumah. Sebab, bisa jadi orang yang berada di dalam rumah akan menyangka telah terjadi sesuatu.
Tata cara bertamu dalam ajaran Islam disertai petunjuk dalam Al Quran dan Hadist



Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau berkata :

أَنَّ أَبْوَابَ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تُقْرَعُ بِالأَظَافِيْر

“Pintu kediaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diketuk dengan menggunakan kuku.” (HR. Bukhari dalam Adab Al-Mufrad (1080), Al-Albani mengatakan :”Shahih)

Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan :”Adab ini dilakukan oleh para sahabat sebagai gambaran adab yang tinggi, adab ini adab yang terpuji bagi seseorang yang berada di dekat pintu, adapun yang jauh dari pintu, sehingga suara ketukan pintu dengan kuku tidak terdengar, maka sebaiknya mengetuk pintu lebih keras lagi sesuai yang dibutuhkan.” (Fathul Bari (11/38), hadits no ( 6250 ))

Al Maimuniy berkata : ”Seorang perempuan mengetuk pintu Abu Abdillah dengan ketukan yang keras, maka Abu Abdillah keluar dan mengatakan: :Ketukan ini adalah ketukan polisi. (Al-Adab Asy-Syar’iyah (1/73))

Hendaklah memberi jarak waktu antara ketukan-ketukan pintu. Hal ini berguna untuk memberikan tenggang waktu di antara ketukan pintu hingga memberi kesempatan kepada tuan rumah untuk bersiap-siap atau mempersiapkan segala sesuatunya yang tidak dilihat.

Disunnahkan untuk mendahuluinya dengan salam sebelum meminta izin

Dari Kaldah bin Hanbal, dia berkata: Sesungguhnya Shafwan bin Umayyah, mengutusnya menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa susu, beberapa za’faran dan anak rubah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu berada di dataran tinggi Makkah, lalu sayapun masuk tanpa memberi salam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ارْجِعْ فَقُلِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ بَعْدَمَا أَسْلَمَ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ
“Kembalilah dan katakan Assalamu ’alaikum”. Kejadian ini setelah Shafwan bin Umayah memeluk Islam. (HR. Ahmad no. 14999, Abu Daud no. 5176. Al-Albani mengatakan : Shahih)

Dan dari Rib’i, dia berkata:

حَدَّثَنَا رَجُلٌ مَنْ بَنِي عَامِرٍ أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتٍ فَقَالَ أَلِجُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِخَادِمِهِ اخْرُجْ إِلَى هَذَا فَعَلِّمْهُ الِاسْتِئْذَانَ فَقُلْ لَهُ قُلِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ

“Telah bercerita kepada kami seorang dari bani ‘Amir, sesungguhnya dia meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara beliau berada di rumahnya, maka dia berkata: “Al’ajj”, Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pembantunya: “Keluarlah dan ajarkan kepadanya adab meminta izin, maka ia mengatakannya: “Katakanlah Assalaamu ’alaikum, bolehkah saya masuk?” (HR.Ahmad no. 22617 dan Abu Daud no. 5177 dan Al-Albaniy berkata: “Shahih “)

Dan dari Ibnu Abbas berkata,

اِسْتَأْذَنَ عُمَرُ عَلىَ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ السَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَيَدْخُلُ عُمَرُ
“Umar meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengucapkan: “Assalamu ’ala Rasulillah, Assalamu ’alaikum, apakah Umar diperbolehkan masuk?” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Al-Albani mengatakan : Shahihul Isnad)

Abu Nu'aim meriwayatkan dari Jabir "Janganlah kalian mengizinkan masuk orang yang tidak mengucapkan salam." (Taariikh Ashbahaan no. I/357)
Baca juga:

Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah


Meminta Izin Kepada Tuan Rumah

Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah di dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat.” (QS. An Nur {24} : 27)

Di dalam ayat tersebut, Allah memberikan bimbingan kepada kaum mukminin untuk tidak memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. Di antara hikmah yang terkandung di dalamnya adalah:

Untuk menjaga pandangan mata. Rasulullah bersabda:

إِنَّمَاجُعِلَ اْلاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ
“Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga pandangan mata.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya sebagaimana pakaian itu sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika seorang tamu meminta izin kepada penghuni rumah terlebih dahulu, maka ada kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam rumahnya tersebut. Sehingga tidaklah dibenarkan ia melihat ke dalam rumah melalui suatu celah atau jendela untuk mengetahui ada atau tidaknya tuan rumah sebelum dipersilahkan masuk.

Di antara mudharat yang timbul jika seseorang tidak minta izin kepada penghuni rumah adalah bahwa hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari tuan rumah, bahkan bisa-bisa dia dituduh sebagai pencuri, perampok, atau yang semisalnya, karena masuk rumah orang lain secara diam-diam merupakan tanda kejelekan. Oleh karena itulah Allah melarang kaum mukminin untuk memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. (Taisirul Karimir Rahman, Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di)

Meminta izin kepada ibu atau saudara perempuan

Dari Aisyah berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلىَ عَبْدِ اللهِ قَالَ أَأَسْتَأْذِنُ عَلىَ أُمِّي فَقَالَ مَا عَلىَ كُلِّ أَحْيَانِهَا تُحِبُّ أَنْ تَرَاهَا
”Apakah aku harus meminta ijin kepada ibuku?” maka Abdullah mengatakan: ”Tidaklah pada setiap keadaan ibumu itu, engkau akan melihat sesuatu yang engkau sukai saja” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, shahih sanadnya.)

Diriwayatkan dari Muslim bin Nadzir ia berkata:

سَأَلَ رَجُلٌ حُذَيْفَةَ فَقَالَ أَسْتَأْذِنُ عَلىَ أُمِّي فَقَالَ إِنْ لَمْ تَسْتَأْذِنْ عَلَيْهَا رَأَيْتَ مَا تَكْرَهُ

”Seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah :”Apakah aku harus meminta izin kepada ibuku?” Hudzaifah mengatakan: ”Jika engkau tidak meminta izin kepada ibumu, engkau akan melihat hal-hal yang engkau benci.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no.( 1060 )

“Atha’ mengatakan :”Aku bertanya kepada Ibnu Abbas : "Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, 'Apakah Saya harus minta izin untuk masuk ke (tempat) saudari perempuan Saya?" la menjawab, 'Ya.' Sayapun mengulangi pertanyaan Saya, 'Dua saudari perempuan dalam asuhan Saya, Saya membiayai dan mencari nafkah mereka berdua, Apakah Saya harus meminta izin kepada mereka berdua?.' Ibnu Abbas menjawab, 'Ya. Apakah engkau suka melihat mereka dalam keadaan tersingkap (telanjang)?!' Lalu ia, membaca, '(Yaa Ayyuhalladzina Aamanuu ... Tsalatsa 'Auraatin Lakum) (QS. An-Nuur {24}: 58). Dia berkata, Maka mereka tidak diperintahkan untuk minta izin kecuali di (waktu) aurat yang tiga ini.' Ia membaca, '(Wa Idzaa Balaghal Athfaalu Minkumul Huluma falyasta'dzana Alladziina min Qablikum)' (QS. An-Nuur {24)} : 59)

Ibnu Abbas berkata, 'minta izin itu wajib (bagi semua manusia)."' (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1063) Al-Albani berkata, “Shahih Sanadnya”)

Para pembantu dari kalangan budak dan anak-anak yang belum baligh, diharuskan bagi mereka untuk meminta izin dalam tiga keadaan :

  • Sebelum shalat fajar
  • Waktu tidur siang sebelum dzuhur
  • Setelah shalat isya

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan Pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur {24} : 58)

Dan selain dari ketiga waktu tersebut maka tidak ada dosa bagi mereka. Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya apabila mereka masuk pada selain dari tiga waktu di atas, maka tidak ada dosa bagi kalian jikalau kalian membolehkan mereka, dan juga mereka tidak berdosa apabila melihat sesuatu diselain dari tiga waktu tersebut.
Baca juga:

Ancaman Bagi Penentang Sunnah Rasulullah SAW

Tata cara dzikir yang baik dan benar

Tata cara dzikir yang baik dan benar -  Berdzikir memiliki adab-adab yang perlu diperhatikan dan diamalkan, diantaranya:
  1. Ikhlas dalam berdzikir dan mengharap ridha Allah.
  2. Berdzikir dengan dzikir dan wirid yang telah dicontohkan Rasulullah; karena dzikir adalah ibadah. Telah lalu penjelasan Ibnu Taimiyah tentang hal tersebut.
  3. Memahami makna dan maksudnya serta khusyu’ dalam melakukannya. Ibnul Qayim berkata, ”Dzikir yang paling utama dan manfaat, ialah yang sesuai antara lisan dengan hati dan merupakan dzikir yang telah dicontohkan Rasulullah. Serta orang yang berdzikir memahami makna dan tujuan kandungannya.” (Dinukil dari Fiqh Ad Ad’iyah Wal Azkar, hlm. 9)
  4. Memperhatikan adab-adab yang telah dijelaskan Allah dalam firmanNya.
Tata cara dzikir yang baik dan benar disertai dalil dalam Al Quran dan Hadist



Dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak menjaharkan suara, pada pagi dan petang, serta janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’râf {7} : 205)

Dalam ayat yang mulia ini, terdapat sejumlah adab dan etika berkaitan dengan dzikir kepada Allah Ta’âlâ. Berikut uraiannya.

firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu,” 

ini adalah adab yang patut dipelihara dalam berdzikir kepada Allah, yaitu dzikir hendaknya dalam diri dan tidak dijaharkan. Yang demikian itu lebih mendekati pintu ikhlas, lebih patut dikabulkan, dan lebih jauh dari kenistaan riya. Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebut dua penafsiran frasa “pada dirimu”:
  1. Bermakna dalam hatimu.
  2. Bermakna dengan lisanmu sebatas memperdengarkan diri sendiri.

Namun, penafsiran kedualah yang lebih tepat berdasarkan dalil kelanjutan ayat “… dan dengan tidak menjaharkan suara”.

“dengan merendahkan diri,” 

Mengandung adab indah yang patut mewarnai seluruh ibadah, yaitu hendaknya dzikir dilakukan dengan merendahkan diri kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Hal yang demikian lebih mendekati makna ibadah yang mengandung pengertian merendah dan menghinakan diri serta tunduk dan bersimpuh di hadapan-Nya. Dengan menjaga adab ini, seorang hamba akan lebih mewujudkan hakikat penghambaan dan lebih mendekati kesempurnaan rasa tunduk kepada Allah Yang Maha Agung. Kapan saja seorang hamba berpijak di atas kaidah ini dalam seluruh ibadahnya, niscaya ia akan semakin mengenal jati dirinya sebagai seorang hamba yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan, sebagai seorang hamba yang harus bersikap tawadhu dan membuang segala kecongkakan.

“Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu … dan rasa takut,” 

Maksudnya adalah berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam keadaan khawatir bila terdapat kekurangan pada amalanmu dan dalam keadaan takut bila amalanmu tertolak atau tidak diterima. Adab ini adalah ketentuan tetap yang mesti dipelihara oleh setiap muslim dan muslimah dalam melaksanakan setiap ibadah.

Sangatlah banyak keterangan dari Al-Qur`an dan hadits yang mengingatkan adab agung yang banyak dilalaikan oleh sejumlah manusia ini. Di antara keterangan tersebut adalah firman Allah Jalla Jalâluhu yang menjelaskan keadaan orang-orang beriman yang bersegera menuju kebaikan,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)

“Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu`minûn {23} : 60-61)

Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang firman-Nya “Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut …,” “Apakah yang dimaksud adalah orang yang berzina, mencuri, dan meminum khamar?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيْقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُوْمُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ

“Bukan, wahai putri Ash-Shiddiq, melainkan yang dimaksud adalah orang yang berpuasa, menunaikan shalat, dan bersedekah, tetapi ia khawatir bila (amalan)nya tidak diterima.” (HR. Ahmad, At-Tirmidz, Ibnu Jarîr, Al-Hâkim, dan Al-Baghawi sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahâdits Ash-Shahîhah karya Al-Albâni)
Baca juga:

Tanamkan Pada Anak Rasa Takut Pada Allah


“dan dengan tidak menjaharkan suara,” 

Juga merupakan adab yang patut diperhatikan karena berdzikir dengan tidak mengeraskan suara akan lebih mendekati khusyu’ serta lebih indah dalam benak dan pikiran. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa, dalam sebuah perjalanan, terdapat sekelompok shahabat yang menjaharkan suaranya ketika berdo’a maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka,

أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا، وَهُوَ مَعَكُمْ

“Wahai sekalian manusia, kuasailah diri-diri kalian dan rendahkanlah suara kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah berdoa kepada yang tuli tidak pula kepada yang tidak hadir. Sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersama dengan kalian.” (HR. Al-Bukhâri dan Muslim dari hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu)

Ath-Thabary rahimahullâh berkata, “Hadits (di atas) menunjukkan makruhnya menjaharkan suara ketika berdoa dan berdzikir. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dari kalangan shahabat dan tabi’in.” (Fath Al-Bâry 9/189)

Dalam hadits Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

“Ketahuilah bahwa setiap orang di antara kalian bermunajat kepada Rabb-nya maka janganlah sekali-sekali sebagian di antara kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian di antara kalian mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca,” -atau beliau berkata-, “… dalam shalat.” (HR. Ahmad 3/94, Abu Dawud no. 1332, An-Nasâ`i dalam Al-Kubrâ` 5/32, dll)

“… dan dengan tidak menjaharkan suara.” 

Menjaharkan sesuatu berarti mengangkat dan mengumumkan suara. Oleh karena itu, ayat ini adalah nash bahwa dzikir itu dilakukan dengan lisan, tetapi tidak dijaharkan. Demikian simpulan keterangan sejumlah ahli tafsir mengenai ayat ini. Dengan demikian, hendaknya dzikir itu dilakukan dengan hati dan lisan, bukan dengan hati saja.

“… pada pagi dan petang,” 

menunjukkan keutamaan berdzikir pada dua waktu ini: pagi dan petang. Keistimewaan berdzikir pada dua waktu ini dikarenakan banyaknya ketenangan dan kesempatan pada waktu tersebut, serta kebanyakan urusan kehidupan manusia berada di antara keduanya, sedang para malaikat naik mengangkat amalan hamba pada dua waktu ini. Oleh karena itu, di antara rahmat Allah dan kemurahan-Nya, kita dianjurkan untuk memperbanyak dzikir pada pagi dan petang serta dijanjikan berbagai keutamaan dengan mengamalkan berbagai dzikir yang dituntunkan pada dua waktu itu. Insya Allah, pada tulisan yang akan datang, akan dijelaskan berbagai dzikir yang dituntunkan untuk dibaca pada pagi dan petang.
Baca juga:

Text dan Arti Dzikir Pagi dan Dzikir Petang


“… serta janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang lalai,” 

Yaitu janganlah engkau termasuk sebagai orang-orang yang dilupakan dan dipalingkan dari berdzikir kepada Allah sebab Allah Ta’âlâ telah mengingatkan,

وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah maka Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr {59} : 19)

Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan sifat orang yang beriman,

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid, yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada pagi dan petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan tidak pula oleh jual beli dari berdzikir kepada Allah, (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut terhadap suatu hari yang (pada hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.” (QS. An-Nûr {24} : 36-37)

Allah Subhânahu mengabarkan bahaya terhadap orang-orang yang berpaling dari dzikir,

“Barangsiapa yang berpaling dari dzikir (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami mengadakan syaithan (yang menyesatkan) baginya maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. Az-Zukhruf {43} : 36)

“Agar Kami memberi cobaan kepada mereka padanya. Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepada Rabb-nya, niscaya dia akan dimasukkan oleh-Nya ke dalam adzab yang amat berat.” (QS. Al-Jinn {72} : 17)

“Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepada-Ku, sesungguhnya penghidupan yang sempit baginya dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thâhâ {2} : 124]

Seluruh nash ayat di atas memberikan pesan dan pelajaran agar seorang hamba tidak pernah putus dari dzikir, walaupun dzikir yang dia lakukan hanya sedikit.
Baca juga:

Selalu Bersyukur Termasuk Golongan Yang Sedikit


Oleh Ustad Abi Hamdi

Selasa, 22 Maret 2016

Pengertian Wasiat, Hukum, Rukun Tinjauan Al Quran Hadist

Dalam syariah Islam memang kita mengenal adanya hukum wasiat dan hukum waris sekaligus. Keduanya wajib dijalankan dengan sungguh-sungguh, karena masing-masing punya dasar hukum dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma ulama.

Dalam implementasinya, syariat Islam juga mengatur pembagian wilayah untuk masing-masingnya. Kapan dan dimana berlakunya hukum wasiat, semua sudah diatur sedemikian rupa. Dan kapan serta dimana harus diberlakukan hukum waris, juga sudah diatur sedemikian rupa. Sehingga antara wasiat dan waris tidak mungkin tumpang tindih, kalau kita benar-benar menerapkan syariah Islam dengan benar.

Kata wasiat terambil dari kata washshaitu, asy-syaia, uushiihi, artinya aushaituhu (aku menyampaikan sesuatu). Secara istilah wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain (berupa barang, piutang atau manfaat) untuk dimiliki oleh si penerima sesudah orang yang berwasiat mati.

Pengertian Wasiat, Hukum, Rukun Tinjauan Al Quran Hadist



Perbedaan Wasiat dan Hibah:

Perolehan dari hibah terjadi pada saat itu juga; dan berupa barang.
Pemilikan wasiat terjadi setelah orang yang berwasiat meninggal dunia; bisa berupa barang, piutang, ataupun manfaat.

Dasar Hukum Wasiat

Hukum wasiat dalam Al Quran

Kalau diurutkan berdasarkan periode pensyariatannya, nampaknya syariat Islam yang terkait dengan hukum-hukum wasiat lebih dahulu diturunkan. Dan pada masa awal, ada periode dimana hukum waris belum turun dan juga belum berlaku.

Sehingga di masa itu, segala hal yang terkait dengan harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, semuanya ditetapkan berdasarkan wasiat almarhum semasa hidupnya.

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf . Hal itu adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah : 180)

Dengan adanya ayat di atas, sebenarnya tidak terlalu salah-salah amat ketika di dalam keluarga ada yang selalu berupaya agar wasiat dari orang tua wajib dijalankan. Khususnya wasiat yang terkait dengan harta-harta milik beliau.

Dan pada saat ayat ini turun, berlaku hukum kewajiban untuk menjalankan wasiat. Dan siapa yang melanggar wasiat almarhum, tentu dia akan berdosa besar.

Hukum wasiat dalam Al-Hadits:

Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim, dari Ibnu Umar r.a., dia berkata: Telah bersabda Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam: “ Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikannya.” Ibnu Umar berkata : Tidak berlalu bagiku satu malam pun sejak aku mendengar Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Mengucapkan hadist itu kecuali wasiatku berada di sisiku."

Makna dari hadist ini adalah bahwa yang demikian ini merupakan suatu keberhati-hatian, sebab selalu terbukanya kemungkinan orang yang berwasiat itu mati secara tiba-tiba.

Pendapat Imam Syafi'i:

Tidak ada keberhati-hatian dan keteguhan bagi seorang muslim, melainkan bila wasiatnya itu tertulis dan berada di sisinya bila dia mempunyai sesuatu yang hendak di wasiatkan, sebab dia tidak tahu kapan ajalnya datang, sebab jika dia mati sedangkan wasiatnya itu tidak tertulis dan tidak berada disisinya, maka wasiatnya mungkin tidak kesampaian.

Hukum Wasiat:

Hukum wasiat adalah tergantung dari kondisi yang menyertainya:

Wajib :

Jika ada kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan jika tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajbian zakat atau haji yang belum ditunaikan, atau dia mempunyai amanat yang harus disampaikan , atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui selain oleh dirinya atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksiakan.

Sunnah :

Jika diperuntukkan bagi kebajikan karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang shaleh tanpa membuat ahl waris jadi terlantar/ karena banyaknya harta peninggalannya banyak dan khawatir ahli warisnya kurang mampu memanfaatkannya..

Haram :

Jika ia merugikan ahli waris atau mewasiatkan barang-barang yang haram sseperti khamar, membangun gereja atau tempat hiburan.

Makruh :

Jika jumlah harta sedikit tetapi mempunyai banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya, atau berwasiat untuk orang fasik ataupun ahli maksiat.

Boleh/Ja’iz:

Bila ditujukan kepada orang kaya, baik kerabat maupun bukan kerabat.

Baca juga:

3 Wasiat Rasulullah Yang Jangan Ditinggalkan Demi Surga


Rukun Wasiat

Redaksi Wasiat (shighat).

Tidak ada redaksi khusus untuk wasiat. Jadi, wasiat sah diucapkan dengan redaksi bagaimanapun, yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara sukarela sesudah wafat. Jadi, jika si pemberi wasiat berkata, “Aku mewasiatkan barang anu untuk si Fulan,” maka ucapan itu sudah menyatakan adanya wasiat, tanpa harus disertai tambahan (qayd) “sesudah aku meninggal”. Tetapi jika si pemberi wasiat mengatakan, “Berikanlah” atau “Kuperuntukkan” atau “Barang ini untuk si Fulan”, maka tak dapat tidak mesti diberi tambahan “setelah aku meninggal”, sebab kata-kata tersebut semuanya tidak menyatakan maksud berwasiat, tanpa adanya tambahan kata-kata tersebut.

Pemberi Wasiat (mushiy).

Orang yang berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan orang yang gila, balig dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh tahun penuh diperbolehkan (ja’iz), sebab Khalifah Umar memperbolehkannya. Tentu saja pemberi wasiat itu adalah pemilik barang yang sah hak pemilikannya terhadap orang lain. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang dungu dan orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar, wasiat mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang dapat mengetahui apa yang mereka wasiatkan.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 194 dinyatakan bahwa orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain. Harta benda yang diwasiatkan itu harus merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan barang yang diwasiatkan itu baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Dikemukakan pula batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah yang benar-benar telah dewasa secara undang-undang. [Terdapat perbedaan dengan batasan baligh dalam kitab-kitab fiqih ].

Penerima Wasiat (mushan lahu).

Penerima wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi, juga untuk seorang Muslim, sesuai dengan firman Allah: Artinya:

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil." (Q.S. Al-Mumtahanah: 8).

Wasiat bagi anak yang masih dalam kandungan adalah sah dengan syarat bahwa ia lahir dalam keadaan hidup, sebab wasiat berlaku seperti berlakunya pewarisan. Dan menurut ijma’, bayi dalam kandungan berhak memperoleh warisan. Karena itu ia juga berhak menerima wasiat.

Barang yang Diwasiatkan (mushan bihi).

Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti harta atau rumah dan kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan benda yang menurut kebiasaan lazimnya tidak bisa dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak bisa dimiliki secara syar’i, seperti minuman keras, jika pemberi wasiat seorang Muslim, sebab wasiat identik dengan pemilikan, maka jika pemilikan tidak bisa dilakukan, berarti tidak ada wasiat. Sah juga mewasiatkan buah-buahan di kebun untuk tahun tertentu atau untuk selamanya.

Kalimat wasiat (lafadz).

Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta dan tidak boleh lebih dari itu kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yag berwasiat itu meninggal.

Batalnya Wasiat :

  • Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila parah yang mengantarnya kepada kematian.
  • Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberinya.
  • Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh penerima wasiat.

Beberapa Keterangan dari Hadits.
Bukan untuk ahli waris (untuk wasiat harta):

ابي امامة قال: سمعت رسول الله صلعم يقول: انّ الله قد اعطى كلّ ذي حقّ حقّه فلا وصية لوارث -

"Dari Abu Umamah beliau berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat bagi seorang ahli waris". (HR. Lima Ahli Hadits selain Nasai)

Jumlah maksimal yang boleh diwasiatkan adalah 1/3 dari harta peninggalan

Jika ternyata lebih maka boleh dikurangi hingga sejumlah maksimal 1/3 saja, kecuali semua ahli waris mengizinkan.

Dari Ibnu Abbas:

قال الناس غضوا من الثلث الى الربع فا ان رسول الله ص م قال الثلث والثلث كثير

“Alangkah baiknya kalau manusia kurangkan (washiatnya) dari sepertiga kepada seperempat! karena Rasulullah saw, bersabda: ‘(Boleh) sepertiga, tetapi sepertia itupun banyak" (HR.Bukhari dan Muslim).
Baca juga:

Wasiat Rasulullah SAW Agar Para Suami Perhatikan Istri


Semoga artikel Pengertian Wasiat, Hukum, Rukun Tinjauan Al Quran Hadist ini bermanfaat. Barokallahu fiikum..

Senin, 21 Maret 2016

Cara Taubat Dari Dosa termasuk Zina Dan Syirik

Cara Taubat Dari Dosa termasuk Zina Dan Syirik - Setiap hamba pasti pernah terjerumus dalam dosa bahkan juga dosa besar. Mungkin saja seseorang sudah terjerumus dalam kelamnya zina, membunuh orang lain tanpa jalan yang benar, pernah menegak arak (khomr), derhaka pada kedua ibu bapa atau seringnya meninggalkan solat lima waktu padahal meninggalkan satu solat saja termasuk dosa besar berdasarkan kesepakatan para ulama. Inilah dosa besar yang mungkin saja di antara kita pernah terjerumus di dalamnya. Lalu masihkah terbuka pintu taubat? Tentu saja pintu taubat masih terbuka, ampunan Allah begitu luas. Bukankah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penerima Taubat?

Penjelasan arti taubat

Secara bahasa, taubat berasal bahasa Arab taaba – yatuubu – taubatan yang berarti kembali. Maksudnya, kembali dari segala yang tercela dan dilarang oleh agama, menuju semua hal kebaikan di jalan Allah.

Sedangkan menurut istilah taubat adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah dari segala perbuatan dosa yang pernah dilakukan, baik secara sengaja atau tidak sengaja, dahulu, sekarang dan yang akan datang.

Taubat apabila dibahasakan secara ringkas adalah meninggalkan atau menyesali dosa dan berjanji tidak mengulanginya lagi (penyesalan atas semua perbuatan tercela yang pernah dilakukan).

Dari makna tersebut bisa kita pahami bahwa dengan bertaubat secara sungguh-sungguh dan tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosa, maka segala dosa-dosa yang pernah dilakukan akan hilang atas ampunan dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Cara Taubat Dari Dosa termasuk Zina Dan Syirik disertai doa dan dalil dalam Al Quran dan hadist



Definisi Taubat


Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz –rahimahullah- menjelaskan,Taubat berarti:       الندم على الماضي والإقلاع منه والعزيمة أن لا يعود فيه

“Menyesali (dosa) yang telah lalu, kembali melakukan ketaatan dan bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut lagi.” Inilah yang disebut taubat."

Syarat dan cara melakukan Taubat yang benar:

  • Behenti dari dosa
  • Mengakui dan menyesali dosa
  • Berniat ikhlas bertaubat karena mencari ampunan Allah Semata
  • Berjanji dan bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa itu
  • Mengembalikan hak orang yang dizalimi jika dosanya berhubungan dengan orang lain
  • Boleh juga ditambah dengan melakukan Shalat Taubat .
Baca juga:

Taubat nya salah seorang sahabat Rasulullah dari zina mata


Perintah untuk bertaubat di dalam Al-Qur'an


Memohon ampun kepada Allah Al Ghafur (Yang Maha pengampun) lagi Ar Rahim (Yang Maha memberi rahmat kepada seluruh hamba-Nya) adalah sesuatu hal yang sangat penting di dalam kehidupan setiap hamba. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kita di dalam Al Qur`an untuk meminta ampun hanya kepada-Nya.

اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا

“Mintalah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia itu adalah Ghaffar (Maha Pengampun).” (QS Nuh: 10)

Di dalam ayat yang lain, Allah berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Rabb kalian berkata: “Berdoalah kalian kepada-Ku, maka Aku akan memperkenankan doa kalian.” (QS Al Mukmin: 60)

Untuk membersihkan hati dari dosa yang pernah dilakukannya, manusia diperintahkan untuk bertaubat. Taubat merupakan media untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan dalam hal taubat ini berupa taubat yang semurni-murninya.

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةً۬ نَّصُوحًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” (Q.S. At Tahrim (66) : 8).

Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Itu yang harus kita akui dalam melihat dosa-dosa kita, baik dosa besar maupun dosa kecil.

Dalam Al-Qur’an dan beberapa riwayat Hadits, perbuatan-perbuatan dosa, baik besar maupun kecil, telah diberikan jalan atau cara untuk ganjarannya. Yang termasuk dosa besar adalah membunuh, berzina, meminum minuman keras, menuduh orang berzina, dan lain sebagainya. Namun, ada dosa yang terbesar, yaitu mensekutukan Allah subhanahu wa ta'ala dengan yang lainnya.

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ

الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئاً

“Maka sesudah mereka (nabi-nabi) datanglah suatu generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, niscaya mereka itu akan dilemparkan ke dalam kebinasaan. Kecuali orang-orang yang bertaubat di antara mereka, dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang akan masuk ke dalam surga dan mereka tidaklah dianiaya barang sedikit pun.” (QS. Maryam: 59, 60).

فَإِنَّهُ كَانَ لِلأَوَّابِينَ غَفُوراً

“Karena sesungguhnya Dia Maha mengampuni kesalahan hamba-hamba yang benar-benar bertaubat kepada-Nya.” (QS. Al Israa’: 25).
Baca juga:

Keutamaan istghfar seorang hamba



Do'a-Do'a Taubat Dari Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam


Berikut ini akan kami sebutkan beberapa doa mohon ampunan (istighfar) yang pernah diajarkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم .

Doa yang diajarkan Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abu Bakr Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu

Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu, dia berkata kepada Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam: “Ajarkanlah kepadaku sebuah doa untuk aku baca di dalam shalatku.” Nabi menjawab: “Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang mengampuni kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan pengampunan-Mu dan kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau adalah Al Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar Rahim (Maha pemberi rahmat).” [HR Al Bukhari (834)dan Muslim (2705)]
Baca juga:

Dan Malaikat pun Melayat Kematian Orang Yang Bertaubat


Doa yang dibaca Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam saat tahajud

Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bangun pada malam hari untuk melaksanakan shalat tahajjud, beliau membaca doa:

اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَقَوْلُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Artinya: “Ya Allah, segala pujian hanya bagi-Mu: Engkau adalah pengurus langit dan bumi serta apa yang ada di dalamnya. Segala pujian hanya bagi-Mu: Hanya milik-Mu kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di dalamnya. Segala pujian hanya bagi-Mu: Engkau adalah cahaya langit dan bumi serta apa yang ada di dalamnya. Segala pujian hanya bagi-Mu: Engkau adalah raja langit dan bumi. Segala pujian hanya bagi-Mu: Engkau adalah Al Haq (Yang Maha Benar), janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar, perkataan-Mu adalah benar, surga itu adalah benar, neraka itu adalah benar, para nabi itu adalah benar, Muhammad صلى الله عليه وسلم itu adalah benar, dan hari kiamat itu adalah benar. Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku kembali dari dosa, hanya karena-Mu aku berbantah, dan hanya kepada-Mu aku berhukum, maka ampunilah untukku dosa yang pernah aku lakukan di awal dan di akhir, dosa yang pernah kulakukan secara tersembunyi dan yang secara terang-terangan. Engkau adalah Al Muqaddim (Yang Maha mendahulukan sesuatu) dan Al Muakhkhir (Yang Maha mengakhirkan sesuatu). Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Engkau.” Sufyan berkata: Abdul Karim Abu Umayyah menambahkan: وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ (Tidaklah ada daya dan upaya dari kita melainkan dengan izin Allah). [HR Al Bukhari (1120) dan Muslim (769)].

Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu, dia berkata bahwasanya Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa:


اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي وَجَهْلِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي هَزْلِي وَجِدِّي وَخَطَايَايَ وَعَمْدِي وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي

Artinya: “Ya Allah, ampunilah untukku kesalahanku, kebodohanku, sikap berlebihanku di dalam urusanku, dan segala sesuatu yang Engkau lebih mengetahuinya daripada diriku. Ya Allah, ampunilah dosa perbuatan yang kulakukan secara tidak sungguh-sungguh, yang kulakukan dengan sungguh-sungguh, yang kulakukan dengan tidak sengaja, dan yang kulakukan dengan sengaja. Semua hal itu ada pada diriku.” [HR Al Bukhari (6399)].

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam berdoa di dalam  sujudnya:


اللّهُمّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلّهُ دِقّهُ وَجِلّهُ، وَأَوّلَهُ وَآخِرَهُ، وَعَلاَنِيَتَهُ وَسِرّهُ

Artinya: “Ya Allah, ampunilah dosaku seluruhnya, baik yang kecil maupun yang besar, yang pertama maupun yang terakhir, yang tampak maupun yang tersembunyi.” [HR Muslim (216)].

Doa yang dibaca oleh para mualaf sesuai tuntunan Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam

Dari Thariq bin Asyam radhiallahu ‘anhu, dia berkata: “Bila ada seseorang masuk Islam, Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam akan mengajarkan kepadanya shalat dan memerintahkannya untuk membaca doa ini:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَعَافِنِي وَارْزُقْنِي

Artinya: “Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, tunjukilah aku, selamatkanlah aku, dan berikanlah rezeki kepadaku.” [HR Muslim (2697)].
Baca juga:

faedah dan keajaiban istighfar



Penghulu Taubat (Sayyidul istighfar)


Dibaca Pagi dan Petang

Dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sayyidul istighfar (doa istighfar yang paling utama) adalah engkau mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ

بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ

bacaan latinnya adalah: ALLAHUMMA ANTA ROBBI LAA ILAAHA ILLA ANTA KHOLAQTANI WA ANAA ‘ABDUKA WA ANAA ‘ALAA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MAS TATHO’TU, A’UUDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHONA’TU ABUU-U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA, WA ABUU-U BIDZANBI FAGFIRLI INNAHU LAA YAGFIRUD DZUNUUBA ILLA ANTA.

Artinya :

Ya Allah Engkau Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau , Engkaulah yang menjadikan aku , dan aku adalah hamba-Mu, aku akan selalu menepati janji-Mu sekemampuan-Ku, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku perbuat. Aku kembali kepada-Mu dengan nikmat yang telah Engkau berikan telah Engkau berikan. Aku kembali kepada-Mu dengan dosa, maka ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau.

Barangsiapa yang mengucapkannya di pagi hari dengan penuh keyakinan, lalu dia meninggal pada hari itu sebelum malam tiba, maka dia termasuk golongan penghuni surga. Barangsiapa yang mengucapkannya di malam hari dengan penuh keyakinan, lalu dia meninggal pada malam itu sebelum pagi tiba, maka dia termasuk golongan penghuni surga.” [HR Al Bukhari (6306)]

Dalam riwayat lain dijelasakan:

Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda bahwa lafadz tersebut diatas adalah penghulu dari semua lafadz-lafadz taubat, menurut riwayat Syiddad ra bahwa Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan bahwa barang siapa yang mengucapakannya pada sore hari dan meninggal malam harinya, maka ia masuk dalam surga dan barang siapa yang mengucapkannya pagi hari dan meninggal siang harinya, maka ia masuk surga. (hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari, Nasai, Tirmidizi, Abu Daud, Ibnu Hibban, Al-hakim dan lainnya)
Baca juga:

Kisah Taubatnya Seorang Wanita Penggoda


Semoga artikel Cara Taubat Dari Dosa termasuk Zina Dan Syirik ini bermanfaat.  Barokallahu fiikum..

Minggu, 20 Maret 2016

Hukum Islam mencukur bulu kemaluan

Hukum Islam mencukur bulu kemaluan - Mencukur rambut sekitar kemaluan termasuk sunnah fitrah. Dan ini dianjurkan untuk dilakukan oleh pria wanita maupun oleh ibu hamil. Agama Islam juga telah menentukan  (boleh) dibiarkan selama empat puluh hari. Asalnya setiap orang mencukur sendiri rambut kemaluannya. Kecuali kalau tidak mampu akan hal itu seperti lanjut usia atau sakit. Dan ini termasuk fitrah baik, seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, dari Abu Hurairah ra:

“Fitrah ada 5: khitan, mencukur bulu kemaluan, memendekkan kumis, potong kuku, dan mencabut bulu kemaluan.” (HR. Bukhari 5891 dan Muslim 257).

Hukum Islam mencukur bulu kemaluan disertai tata cara sesuai sunnah



Mencukur bulu kemaluan harus dilakukan oleh dirinya sendiri

Dan lakukan tindakan mencukur bulu bulu ini oleh anda sendiri. 

Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

( لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ ) .
رواه مسلم ( 338 ) .

“Orang lelaki tidak diperbolehkan melihat aurat lelaki (lainnya) dan wanita tidak diperbolehkan melihat (aurat) wanita lainnya.” (HR. Muslim, 338.)

Mencukur bulu kemaluan dalam 40 hari sekali.

Dalam perspektif Mazhab Hambali, sebaiknya membersihkan bulu disekitar area vital ini ialah dengan metode mencukur, dan ini disetujui oleh komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi. Disamping itu lembaga ini mengemukakan hikmah dan manfaat dari anjuran mencukur bulu sekitar alat vital ini yakni disamping menjaga kebersihan kulit disekitar area kemaluan, membantu meningkatkan pembuluh darah saat berhubungan seksual tentu menghindari penyakit akibat beberapa bakteri yang tumbuh dan berkembang disekitar bulu-bulu tersebut. Dan hendaklah selalu mencukur rutin dalam rentang waktu 40 hari.

Apakah sunahnya memang diberi rentang waktu selama 40 hari? Bagaimana jika melebihi atau kurang dari waktu itu? Ternyata memang demikian adanya karena hal ini sudah tertera pada hadis Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam:

Riwayat dari Muslim dan Anas bin Malik ra:

 “Kami diberi waktu dalam memendekkan kumis, mencukur kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh malam.”

Syaukani mengatakan, jika Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sudah mematok waktu rentang 40 hari untuk waktu terbaik mencukur bulu kemaluan, dan ini berarti tidak diperkenankan melebihi dari waktu tersebut, namun jika dalam rentang sebelum waktu 40 hari, Anda berniat memotongnya maka diperbolehkan.
Baca juga:

Sami'na Wa Atho'na Terhadap Sunnah


Bacalah Basmallah sebelum membuka pakaian agar terhijab dari pandangan jin

Mengenai doa sebelum mencukur bulu kemaluan, Tiada doa khusus saat muslim akan mencukur bulu kemaluan, hal ini dikarenakan tiada penjelasan dari keterangan ulama pada buku-buku fikih mengenai hal ini, jika tidak berdoa-pun tidak mengapa. Hanya saja karena seseorang jika akan melakukan sesuatu yang tujuannya baik, dan saat membuka aurat itu  bisa jadi terlihat oleh jin, maka diharapkan membaca basmallah atau doa masuk kamar mandi seperti yang tertera dalam hadis berikut: dari Ali bin Abi Thalib ra, Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

 “Penutup antara pandangan jin dan aurat bani adam adalah ketika mereka masuk kamar mandi, mengucapkan bismillah.” (HR. Turmudzi ).
Baca juga:

Ciri Tanda di Cintai Jin


Semoga artikel Hukum Islam mencukur bulu kemaluan ini bermanfaat.  Barokallahu fiikum..

Senin, 14 Maret 2016

Pandangan Mata Saat Sholat

Pada saat shalat kadang kita melihat ada beberapa saudara muslim yang ternyata mengarahkan pandangan nya lurus kedepan dan kadang ada juga beberapa orang yang bahkan mengarahkan pandangannya ke atas. Tahukah anda sahabat muslim bahwa itu dilarang oleh Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

Pandangan Mata Saat Sholat yang di contohkan Rasulullah SAW beserta dalil dan larangan untuk melihat ke atas saat sholat



Larangan keras dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika melihat ke atas saat shalat

Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ.

“Hendaklah orang-orang benar-benar menyudahi mengangkat pandangan mereka ke atas langit ketika shalat, atau pandangan mereka tidak akan kembali kepada mereka.” (HR. Muslim)

Anas bin Malik radhiyaAllahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ. فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ: لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ.

“Mengapa orang-orang itu mengangkat pandangan mereka ke langit ketika shalat.” Ucapan beliau sangat keras dalam masalah ini, sampai-sampai beliau mengatakan:” Hendaknya mereka benar-benar menyudahi hal itu atau pandangan mereka benar-benar akan disambar/diambil.” (HR. Bukhori)
Baca juga:

Saat Lupa dan Ragu dalam Shalat


Nah dari hadist di atas Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sudah melarang keras pada saat sholat untuk melihat ke atas.

Adapun yang disunnahkan adalah memandang ke tempat sujud. Para sahabat berkata:

كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَى بِبَصَرِهِ نَحْوَ اْلأَرْضِ.

"Adalah Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dahulu apabila mengerjakan shalat beliau menundukan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke bumi (bawah)." (Hadis sahih riwayat al-Baihaqi dan al-Hakim)
Baca juga:

rahasia khusyuk dalam sholat


Pandangan mata Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam saat sholat

Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyaAllahu anha bertutur:

لَمَّا دَخَلَ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُوْدِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا.

“Ketika masuk ke Ka’bah, pandangan beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak berpindah dari tempat sujud hingga keluar darinya.” (Hadis sahih riwayat al-Baihaqi dan al-Hakim)
Baca juga:

Sami'na Wa Atho'na Terhadap Sunnah


Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk dapat mengerjakan shalat dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Aamiin,

Barokallahu fiikum..

Artikel Terbaru