Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 April 2016

Pengertian Dan Hikmah Pernikahan Dalam Islam (PDF)

Pengertian dan hikmah pernikahan dalam Islam - Pernikahan adalah salah satu sunnatullah yang umum terjadi pada semua mahluk Allah, baik pada manusia , hewan maupun tumbuh-tumbuhan .

ومن ڪل شىء خلقنا زوجين لعلكم تذكرون

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (QS Adz-Dzariat : 49).

Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesuai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina

Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak , berkembang biak dan melestarikan hidupnya . يا أيہا ٱلناس إنا خلقنكم من ذكر وأنثى

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan .... (QS. Al-Hujuraat : 13).

Allah tidak menghendaki manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarkhi dan tidak ada aturan. Tapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab-qabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.

(Silahkan download artikel ini dalam bentuk PDF agar anda bisa membacanya nanti)

Download

Pengertian Dan Hikmah Pernikahan Dalam Islam (PDF) dengan disertai dalil dari Al Quran dan Hadist

Hukum Menikah

Hukum pernikahan bersifat kondisional, artinya berubah menurut situasi dan kondisi seseorang dan lingkungannya.

Hukum Menikah menjadi Wajib: 

Bagi yang sudah mampu kawin, nafsunya telah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinahan. Karena menjauhkan diri dari yang haram adalah wajib, sedang untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan menikah.

 وليستعفف ٱلذين لا يجدون نكاحا حتى يغنيہم ٱلله من فضل

Dan orang-orang yang tidak mampu menikah harus menjaga kesucian [diri] nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (QS.An-Nu: 33). 

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu: Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hai, golongan pemuda! Jika diantara kamu ada yang mampu menikah hendaklah ia menikah, karena nanti matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara, Dan bilamana ia belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat pengebiri. ( HR . Jama'ah .).

Hukum Menikah menjadi Sunnah: 

Bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu menikah, tetapi masih bisa manahan dirinya dari berbuat zina. Dari Abu Umamah radhiyallahu anhu: Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "menikahlah kalian, Karena akau akan membanggakan banyaknya jumlah kalian pada umat-umat lain. Dan janganlah kalian seperti pendeta -pendeta Nasrani" (HR . Baihaqi). Ibnu Abbas berkata: "Ibadah seseorang belum sempurna, sebelum ia menikah."

Hukum Menikah menjadi Haram: 

Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya pun tidak mendesak. Qurthuby berkata: "Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak istrinya, maka ia tidak dapat menikah, sebelum jujur ​​menjelaskan kondisi sebenarnya. Begitu pulu kalau itu karena sesuatu hal menjadi lemah, tak mampu menggauli isterinya, maka wajiblah ia menjelaskan dengan jujur ​​agar perempuannya tidak tertipu olehnya. Juga tidak bisa langsung ia menipunya dengan menyebut keturunan, harta dan pekerjaannya secara tidak semestinya .

Begitu juga sebaliknya bagi perempuan. Termasuk tidak dapat menyembunyaikan cacat tubuh, kelainan pada alat kelamin atau hal-hal penyimpangan kejiwaan. Bila ternyata salah satu pasangan mengetahui aib pada lawannya, maka ia berhak untuk membatalkan, Jika yang aib itu perempuannya, maka suaminya bisa membatalkannya dan dapat mengambil kembali maharnya.

Hukum Menikah menjadi Makruh: 

Bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja istrinya , walalupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak memiliki keinginan syahwat yang kuat.

Hukum Menikah menjadi Mubah: 

Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera menikah atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk menikah .

Anjuran untuk menikah

Islam dalam mengatur menikah menggunakan beberapa cara:

Karunia.

Disebutnya sebagai satu karunia yang baik.

 وٱلله جعل لكم من أنفسكم أزوٲجا وجعل لكم من أزوٲجڪم بنين وحفدة ورزقكم من ٱلطيب

 Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. (QS.An-Nahl: 72).

Kekuasaan-Nya.

Disebutnya sebagai salah satu kekuasaan-Nya

 و من ءايته أن خلق لكم من أنفسكم أزوٲجا لتسكنوا إليها وجعل بينڪم مودة ورحمة إن فى ذٲلك لأيت لقوم يتفكرون

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Rum: 21). 

Islam memperingatkan bahwa dengan menikah, Allah akan memberikan kepadanya pennghidupan yang berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitannya dan diberikannya kekuatan yang mampu mengataasi kemiskinan

 كحوا ٱلأيمى منكم وٱلصلحين من عبادكم وإمآٮڪم إن يكونوا فقرآء يغنهم ٱلله من فضله وٱلله وٲسع عليم

Dan menikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak [bermenikah] dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas [pemberian-Nya] lagi Maha Mengetahui. (QS . An-Nur: 32).

Sunnah Rasul.

Disebutnya sebagai salah satu sunnah Rasul dan para Nabi

 ولقد أرسلنا رسلا من قبلك وجعلنا لهم أزوٲجا وذرية

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan .(QS.Ar-Ra 'd: 38).

Di dalam hadits dikatakan, pernah Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Empat hal yang merupakan sunnah para Nabi: celak, wangi-wangian, siwak dan menikah."(HR. At-Turmudi dari Abu Ayub).

Separoh agama.

Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dari Anas bin Malik r.a.:

«مَنْ رَزَقَهُ اللَّهُ امْرَأَةً صَالِحَةً، فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِينِهِ، فَلْيَتَّقِ اللَّهَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِي»

“Siapa yang diberi Allah isteri shalihah, maka sungguh Allah telah menolongnya atas separo agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separo lainnya.” Al-Hakim berkata: “hadits ini sanadnya shahih.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi.

Pertolongan.

Dalam sebuah hadits At-Tirmidzi dari AbuHurairah, pernah Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: عَوْنُهُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالنَّاكِحُ لِيَسْتَعْفِفَ، وَالْمُكَاتَبُ يُرِيدُ الْأَدَاءَ»

"Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah: Pejuang di jalan Allah, Mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya dan orang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram. "

Menyegerakan kebaikan.

Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam telah berpesan kepada para bapak jika datang kepada mereka orang yang mereka ridhai agama dan akhlaknya agar menikahkannya. At-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
 «إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ، وَفَسَادٌ عَرِيضٌ»

“Jika datang mengkhitbah kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkan dia, jika tidak kalian lakukan maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Ibn Majah telah mengeluarkan dengan lafazh:

«إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِينَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ» “Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai akhlaknya dan agamanya maka nikahkan dia, jika tidak kalian lakukan maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Hikmah terselenggaranya Pernikahan

Membentuk keluarga mulia.

menikah adalah jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. Sebagaimana sabda Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam :" menikahlah dengan perempuan pecinta lagi bisa banyak anak, agar nanti aku dapat membanggakan jumlahnya yang banyak di hadapan para nabi pada hari kiamat nanti."

Kebutuhan Biologis.

Naluri seks adalah naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Dan menikah adalah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu : pernah Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Sesungguhnya perempuan itu menghadap dengan rupa setan dan membelakangi dengan rupa setan pula. Jika seseorang diantaramu tertarik kepada seorang perempuan, hendaklan ia datangi istrinya, agar nafsunya bisa tersalurkan. " (HR. Muslim , Abu Daud dan Turmudzi ).

Menumbuhkan tanggung jawab.

Adanya rasa tanggung jawab yang dapat mendorong ke arah rajin bekerja, bersungguh-sungguh dan mencurahkan perhatian.

Menundukkan pandangan.

Islam mendorong untuk menikah. Menikah itu lebih menundukkan pandangan, lebih menjaga kemaluan, lebih menenangkan jiwa dan lebih menjaga agama. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Abdullah ra, ia berkata: kami bersama Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau bersabda:

«مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»

“Siapa saja diantara kalian yang sanggup menikah maka hendaklah dia menikah, sesungguhnya itu lebih menundukkan pandangan, lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu perisai baginya.”

Naluri kasih sayang.

Tumbuhnya naluri kebapakan dan ke-ibuan yang saling melengkapi, tumbuh perasaan cinta, ramah, dan sayang dalam suasana hidup dengan anak-anak.

Memperteguh silaturahim.

Dapat membuahkan tali kekeluargaan, mempertreguh kelanggengan rasa cianta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.

Pembagian tugas.

Adanya pembagian tugas istri mengurusi dan mengatur rumah tangga, membimbing dan mendidik anak-anak, sementar si suami bekerja di luar rumah.

Larangan Membujang (Tabattul)

Tabattul adalah meninggalkan wanita dan pernikahan dengan dalih untuk fokus beribadah. Tabattul adalah keyakinan Shufiyah yang menyelisihi prinsip Islam.

Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Hidup menyendiri bukanlah termasuk ajaran Islam.” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang mengajak untuk tidak menikah, maka dia telah menyeru kepada selain Islam. Jika seorang telah menikah, maka telah sempurna keislamannya.” (lihat ucapan beliau dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah rahimahullahu).

Dasar yang melandasi pelarangan adalah sekian banyaknya nash, diantaranya:

Nikah adalah Sunnah para Rasul.

Nikah adalah salah satu Sunnah para Rasul, lantas apakah engkau akan menjauhinya, wahai saudaraku yang budiman?

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Ayyub Radhiyallahu anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ مِنْ سُـنَنِ الْمُرْسَلِيْنَ: اَلْحَيَـاءُ، وَالتَّعَطُّرُ، وَالسِّوَاكُ، وَالنِّكَاحُ.

“Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa-malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah.” (HR. At-Tirmidzi (no. 1086) kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadits hasan shahih.”)

Siapa yang mampu di antara kalian untuk menikah, maka menikahlah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita demikian, sebagaimana diriwayat-kan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Ia menuturkan: “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).' (HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah).

Pensyarah kitab Tuhfatul Ahwadzi berkata: “Al-baa-u asalnya dalam bahasa Arab, berarti jima’ yang diambil dari kata al-mabaa-ah yang berarti tempat tinggal. Mampu dalam hadits ini memiliki dua makna, mampu berjima’ dan mampu memikul beban nikah.” Demikianlah maksud dalam hadits tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah, hal. 12 dari kitab Tuhfatul Ahwadzi. Kemudian para ulama berkata: “Adapun orang yang tidak mampu berjima’, maka ia tidaklah butuh berpuasa. Jika demikian, maka makna kedua lebih shahih.”)

Orang yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka Allah pasti menolongnya.

Saudaraku yang budiman, jika engkau ingin menikah, maka ketahuilah bahwa Allah akan menolongmu atas perkara itu.

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: اَلْمُكَـاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ.

“Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah; seorang budak yang ingin menebus dirinya dengan mencicil kepada tuannya, orang yang menikah karena ingin memelihara kesucian, dan pejuang di jalan Allah". (HR. At-Tirmidzi (no. 1352) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1512) dan di-hasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Misykaah (no. 3089), Shahiih an-Nasa-i (no. 3017), dan Shahiihul Jaami’ (no. 3050))

Menikahi wanita yang berbelas kasih dan subur (banyak anak) adalah kebanggaan bagimu pada hari Kiamat.

Saudaraku yang budiman, jika kamu hendak menikah, carilah dari keluarga yang wanita-wanitanya dikenal subur (banyak anak) dan berbelas kasih kepada suaminya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membanggakanmu mengenai hal itu pada hari Kiamat.

Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan: ‘Aku mendapatkan seorang wanita (dalam satu riwayat lain (disebutkan), ‘memiliki kedudukan dan kecantikan’), tetapi ia tidak dapat melahirkan anak (mandul); apakah aku boleh menikahinya?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian dia datang kepada beliau untuk kedua kalinya, tapi beliau melarangnya. Kemudian dia datang kepada beliau untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ‘Nikahilah wanita yang berbelas kasih lagi banyak anak, karena aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat yang lain." (HR. Abu Dawud (no. 2050) kitab an-Nikaah, dan para perawinya tsiqah (ter-percaya) kecuali Mustaslim bin Sa’id, ia adalah shaduq, an-Nasa-i (no. 3227), kitab an-Nikaah, dan para perawinya terpercaya selain ‘Abdurrahman bin Khalid, ia adalah shaduq.)

Persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah.

Saudaraku semuslim, aktivitas seksualmu dengan isterimu guna mendapatkan keturunan, atau untuk memelihara dirimu atau dirinya, maka engkau mendapatkan pahala; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, bahwa sejumlah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendapatkan banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, dan mereka dapat bershadaqah dengan kelebihan harta mereka.”

Beliau bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa yang dapat kalian shadaqahkan. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma’ruf adalah shadaqah, mencegah dari yang munkar adalah shadaqah, dan persetubuhan salah seorang dari kalian (dengan isterinya) adalah shadaqah.”

Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?”

Beliau bersabda: “Bagaimana pendapat kalian seandainya dia melampiaskan syahwatnya kepada hal yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya kepada hal yang halal, maka dia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim (no. 1006)).

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah,’ dimutlakkan atas jima. Ini sebagai dalil bahwa perkara-perkara mubah akan menjadi ketaatan dengan niat yang benar. Jima’ menjadi ibadah jika diniatkan untuk memenuhi hak isteri dan mempergaulinya dengan baik sebagaimana Allah memerintahkan kepadanya, atau diniatkan untuk mendapatkan anak yang shalih, atau memelihara dirinya.” Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika manusia mati, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang senantiasa mendo’akannya.” (HR. Muslim)

Menikah dapat mengembalikan semangat “kepemudaan”.

Nikah dapat mengembalikan kekuatan dan kepemudaan badan. Karena ketika jiwa merasa tenteram, tubuh menjadi giat.

Inilah seorang Sahabat yang menjelaskan hal itu kepada kita, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Alqamah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Aku bersama ‘Abdullah (bin Mas’ud), lalu ‘Utsman bertemu dengannya di Mina, maka ia mengatakan: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya aku mempunyai hajat kepadamu.’ Kemudian keduanya bercakap-cakap (jauh dari ‘Alqamah). ‘Utsman bertanya kepadanya: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, maukah aku nikahkan engkau dengan seorang gadis yang akan mengingatkanmu pada apa yang dahulu pernah engkau alami?’ Ketika ‘Abdullah merasa dirinya tidak membutuhkannya, maka dia mengisyaratkan kepadaku seraya mengatakan: ‘Wahai ‘Alqamah!’ Ketika aku menolaknya, dia mengatakan: ‘Jika memang engkau mengatakan demikian, maka sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami: ‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu untuk menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah; karena puasa dapat mengendalikan syahwatnya.’” (HR. Al-Bukhari (no. 5065) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1400) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2045) kitab an-Nikaah. Pensyarah kitab ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud (VI/28-29) berkata: “Wahai Abu ‘Abdirrahman -kun-yah Ibnu Mas’ud-, akan kembali kepadamu apa yang pernah engkau alami, akan kembali kepadamu apa yang telah berlalu dari semangatmu dan kekuatan muda-mu. Sebab, itu dapat membangkitkan kekuatan badan.”)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan suami isteri agar melakukan aktivitas seksual guna memperolah keturunan, dan menikah dengan gadis.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: ‘Aku benar-benar akan menggilir 70 isteri pada malam ini, yang masing-masing isteri akan melahirkan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah.’ Seorang sahabatnya berkata kepadanya: ‘Insya Allah.’ Tetapi Nabi Sulaiman tidak mengucapkannya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang hamil kecuali satu orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seandainya dia mengucapkan insya Allah, niscaya mereka menjadi para mujahid di jalan Allah.' (HR. Al-Bukhari (no. 3424), kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’.)

Dalam riwayat Muslim (disebutkan): “Aku bersumpah kepada Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! ‘Seandainya dia mengucapkan ‘insya Allah’, niscaya mereka berjihad di jalan Allah sebagai prajurit semuanya.' (HR. Muslim (no. 1659), kitab al-Aimaan wan-Nudzuur.)

Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Aku bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan, ternyata untaku berjalan lambat dan kelelahan. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadaku lalu menegur: ‘Jabir!’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ Aku menjawab: ‘Untaku berjalan lambat dan kelelahan sehingga aku tertinggal.’ Lalu beliau turun untuk mengikatnya dengan tali, kemudian bersabda: ‘Naiklah!’ Aku pun naik. Sungguh aku ingin menahannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya: ‘Apakah engkau sudah menikah?’ Aku menjawab: ‘Sudah.’ Beliau bertanya: ‘Gadis atau janda?’ Aku menjawab: ‘Janda.’ Beliau bersabda: ‘Mengapa tidak menikahi gadis saja sehingga engkau dapat bermain-main dengannya dan ia pun bermain-main dengan-mu?’ Aku menjawab: ‘Sesungguhnya aku mempunyai saudara-saudara perempuan, maka aku ingin menikahi seorang wanita yang bisa mengumpulkan mereka, menyisir mereka, dan membimbing mereka.’ Beliau bersabda: ‘Engkau akan datang; jika engkau datang, maka demikian, demikian.'  {Sebagian ahli ilmu menafsirkan al-kais al-kais dengan jima’. Sebagian lainnya menafsirkannya dengan memperoleh anak dan keturunan. Sebagian lain lagi menafsirkannya sebagai anjuran untuk berjima’.}

Beliau bertanya: ‘Apakah engkau akan menjual untamu?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Lalu beliau membelinya dariku dengan satu uqiyah (ons perak). Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sebelumku, sedangkan aku sampai pada pagi hari. Ketika kami datang ke masjid, aku menjumpai beliau di depan pintu masjid. Beliau bertanya: ‘Apakah sekarang engkau telah tiba?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda: ‘Tinggalkan untamu lalu masuklah ke masjid, kemudian kerjakan shalat dua rakaat.’ Kemudian aku masuk, lalu melaksanakan shalat. Setelah itu beliau memerintahkan Bilal agar membawakan satu uqiyah kepada beliau, lalu Bilal menimbangnya dengan mantap dalam timbangan. Ketika aku pergi, beliau mengatakan: ‘Panggillah Jabir kepadaku.’ Aku mengatakan: ‘Sekarang unta dikembalikan kepadaku, padahal tidak ada sesuatu pun yang lebih aku benci daripada unta ini.’ Beliau bersabda: ‘Ambil-lah untamu, dan harganya untukmu.' (HR. Al-Bukhari (no. 5079) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 715) kitab al-Aimaan, Ibnu Majah (no. 1860) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13710).)

Ibnu Majah meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

عَلَيْكُمْ بِاْلأَبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ.

“Nikahlah dengan gadis perawan; sebab mereka itu lebih manis bibirnya, lebih subur rahimnya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah (no. 1861) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat ‘Abdurrahman bin Salim, yang dinilai oleh al-Bukhari bahwa haditsnya tidak shahih.)

Anak dapat memasukkan bapak dan ibunya ke dalam Surga.

Bagaimana anak memasukkan ayah dan ibunya ke dalam Surga? Mari kita dengarkan jawabannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi. Imam Ahmad meriwayatkan dari sebagian Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

يُقَـالُ لِلْوِلْدَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: اُدْخُلُوا الْجَنَّةَ. قَالَ: فَيَقُوْلُوْنَ: يَـا رَبِّ، حَتَّى يَدْخُلَ آبَاؤُنَا وَأُمَّهَاتُنَا، قَالَ: فَيَأْتُوْنَ. قَالَ: فَيَقُوْلُ اللهُ : مَـا لِي أَرَاهُمْ مُحْبَنْطِئِيْنَ، اُدْخُلُوا الْجَنَّةَ، قَالَ: فَيَقُوْلُوْنَ: يَـا رَبِّ، آبَاؤُنَا وَأُمَّهَاتُنَـا. قَالَ: فَيَقُوْلُ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ.

“Di perintahkan kepada anak-anak di Surga: ‘Masuklah ke dalam Surga.’ Mereka menjawab: ‘Wahai Rabb-ku, (kami tidak masuk) hingga bapak dan ibu kami masuk (terlebih dahulu).’ Ketika mereka (bapak dan ibu) datang, maka Allah Azza wa Jalla berfirman kepada mereka: ‘Aku tidak melihat mereka terhalang. Masuklah kalian ke dalam Surga.’ Mereka mengatakan: ‘Wahai Rabb-ku, bapak dan ibu kami?’ Allah berfirman: ‘Masuklah ke dalam Surga bersama orang tua kalian.' (HR. Ahmad (no. 16523), dan para perawinya tsiqat kecuali Abul Mughirah, ia adalah shaduq.)

Sebagian manusia memutuskan untuk beribadah dan menjadi “pendeta” serta tidak menikah, dengan alasan bahwa semua ini adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Kita sebutkan kepada mereka dua hadits berikut ini, agar mereka mengetahui ajaran-ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keharusan mengikuti Sunnahnya pada apa yang disabdakannya. Inilah point yang kesembilan:

Tidak menikah karena memanfaatkan seluruh waktunya untuk beribadah adalah menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wahai saudaraku yang budiman. Engkau memutuskan untuk tidak menikah agar dapat mempergunakan seluruh waktumu untuk beribadah adalah menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, agama kita bukan agama “kependetaan” dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasi-kan hal itu kepada kita.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: Ada tiga orang yang datang ke rumah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka diberi kabar, mereka seakan-akan merasa tidak berarti. Mereka mengatakan: “Apa artinya kita dibandingkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan terkemudian?” Salah seorang dari mereka berkata: “Aku akan shalat malam selamanya.” Orang kedua mengatakan: “Aku akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan pernah berbuka.” Orang ketiga mengatakan: “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang lalu bertanya: “Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah dan lebih bertakwa daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnah-ku, maka ia bukan termasuk golonganku.'” (HR. Al-Bukhari (no. 5063) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1401) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3217) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13122))

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui Salman Radhiyallahu anhu atas apa yang dikatakannya kepada saudaranya, Abud Darda’ Radhiyallahu anhu yang telah beristeri, agar tidak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menjauhi isterinya, yaitu Ummud Darda’ Radhiyallahu anha. Dia menceritakan kepada kita peristiwa yang telah terjadi.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Wahb bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda’. Ketika Salman mengunjungi Abud Darda’, dia melihat Ummud Darda’ mubtadzilah (memakai baju apa adanya dan tidak memakai pakaian yang bagus).{Peristiwa ini sebelum turunnya ayat hijab, wallaahu a’lam} Dia bertanya: “Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab: “Saudaramu, Abud Darda’, tidak membutuhkan dunia ini, (yakni wanita. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat tambahan: ‘Ia berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari’).”

Kemudian Abud Darda’ datang lalu Salman dibuatkan ma-kanan. “Makanlah, karena aku sedang berpuasa,” kata Abud Darda’. Ia menjawab: “Aku tidak akan makan hingga engkau makan.” Abud Darda’ pun makan. Ketika malam datang, Abud Darda’ pergi untuk mengerjakan shalat.

Salman berkata kepadanya: “Tidurlah!” Ia pun tidur. Kemudian ia pergi untuk shalat, maka Salman berkata kepadanya: “Tidurlah!” Ketika pada akhir malam, Salman berkata: “Bangunlah sekarang.” Lantas keduanya melakukan shalat bersama.

Kemudian Salman berkata kepadanya: “Rabb-mu mempunyai hak atasmu, dirimu mempunyai hak atasmu, dan keluargamu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya, berikanlah haknya kepada masing-masing pemiliknya.”
Kemudian Abud Darda’ datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau menjawab: “Salman benar.” (HR. Al-Bukhari (no. 1968) kitab ash-Shiyaam, at-Tirmidzi (no. 2413))

Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai ‘Abdullah, aku diberi kabar, bukankah engkau selalu berpuasa di siang hari dan shalat pada malam hari?” Aku menjawab: “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Jangan engkau lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah. Sebab jasadmu mempunyai hak atasmu, matamu mempunyai hak atasmu, dan isterimu mempunyai hak atasmu.'” (HR. Al-Bukhari (no. 5199) kitab an-Nikaah, dan Muslim (no. 1159))

Berikut ini sebagian ucapan para Sahabat dan Tabi’in yang menganjurkan untuk menikah.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku: “Apakah engkau sudah menikah?” Aku menjawab: “Belum.” Dia mengatakan: “Menikahlah, karena sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya.” (HR. Al-Bukhari (no. 5199) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no. 2049))

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal 10 hari lagi, niscaya aku ingin pada malam-malam yang tersisa tersebut seorang isteri tidak berpisah dariku.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (IV/128), ‘Abdurrazzaq (no. 10382, VI/ 170))

Imam Ahmad ditanya: “Apakah seseorang diberi pahala bila mendatangi isterinya, sedangkan dia tidak memiliki syahwat?” Ia menjawab: “Ya, demi Allah, karena ia menginginkan anak. Jika tidak menginginkan anak, maka ia mengatakan: ‘Ini adalah wanita muda.’ Jadi, mengapa ia tidak diberi pahala?” (Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (VII/31))

Maisarah berkata, Thawus berkata kepadaku: “Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawa-id: ‘Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau banyak dosa.' (‘Abdurrazzaq (no. 10384, VI/170), Siyar A’laamin Nubalaa’ (V/47-48). Amirul Mukminin z hanyalah ingin membangkitkan semangat bawahannya itu supaya menikah ketika ia melihat Abu Zawa-id belum menikah, padahal usianya semakin tua. Lihat Fat-hul Baari (IX/91), al-Ihyaa’ (II/23), al-Muhalla (IX/44))

Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: “Bujangan itu seperti pohon di tanah gersang yang diombang-ambingkan angin, demikian dan demikian.” (HR. ‘Abdurrazzaq (no. 10386, VI/171).)
Sungguh indah ucapan seorang penya’ir:

Renungkan ucapan orang yang mempunyai nasihat dan kasih sayang. Bersegeralah menikah, maka engkau akan mendapatkan kebanggaanmu
Ambillah dari tumbuhan yang merdeka lagi murni. Dan makmurkan rumahmu dengan takwa dan kebajikan. Jangan terpedaya dengan kecantikan, karena ia menumbuhkan tumbuhan terburuk yang menampakkan kebinasaanmu. Takwa kepada Allah adalah sebaik-baik bekal. Maka makmurkanlah malam dan siangmu dengan berdzikir

Menikah dapat membantu menahan pandangan dan meng-alihkan (mengarahkan) hati untuk mentaati Allah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga Allah mensucikan ruhnya- ditanya tentang orang yang terkena panah dari panah-panah iblis yang beracun, beliau menjawab: “Siapa yang terkena luka beracun, maka untuk mengeluarkan racun dan menyembuhkan lukanya ialah dengan obat penawar racun dan salep. Dan, itu dengan beberapa perkara:

Pertama, menikah atau mengambil gundik (hamba sahaya yang menjadi miliknya). Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّمَا مَعَهَا مَا مَعَهَا.

‘Jika salah seorang dari kalian melihat kecantikan wanita,
maka hendaklah ia mendatangi (menggauli) isterinya. Sebab, apa yang dimilikinya sama dengan yang dimiliki isterinya.’ (HR. Muslim (no. 1403) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1158) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2151) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 14128))

Inilah yang dapat mengurangi syahwat dan melemahkan cinta yang menggelora.
Kedua, senantiasa menunaikan shalat lima waktu, berdo’a, dan bertadharru’ di malam hari. Shalatnya dilakukan dengan konsentrasi dan khusyu’, dan memperbanyak berdo’a dengan ucapannya:

يَـا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَـى دِيْنِكَ! يَـا مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قَلْبِيْ إِلَى طَاعَتِكَ وَطَاعَةِ رَسُوْلِكَ.

‘Wahai Rabb Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu. Wahai Rabb Yang memalingkan hati, palingkanlah hatiku untuk mentaati-Mu dan mentaati Rasul-Mu.’

Sebab, selama dia terus berdo’a dan bertadharru’ kepada Allah, maka Dia memalingkan hatinya dari keburukan, sebagaimana firman-Nya:

كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

‘… Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemunkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba -hamba kami yang terpilih.’ (QS. Yusuf/12: 24)

Ketiga, jauh dari kediaman orang ini dan berkumpul dengan orang yang biasa berkumpul dengannya; di mana dia tidak mendengar beritanya dan tidak melihat dengan matanya; karena berjauhan itu dapat membuat lupa. Selama sesuatu itu jarang diingat, maka pengaruhnya menjadi lemah dalam hati.

Oleh karenanya, hendalah dia melakukan perkara-perkara ini dan memperhatikan perkara yang dapat memperbaharui keadaannya. Wallaahu a’lam.” (Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/5-6))

Syaikhul Islam ditanya tentang seseorang yang membujang sedangkan dirinya ingin menikah, namun dia khawatir terbebani oleh wanita apa yang tidak disanggupinya. Padahal ia berjanji kepada Allah untuk tidak meminta sesuatu pun kepada seseorang untuk kebutuhan dirinya, dan ia banyak mengamati perkawinan; apakah dia berdosa karena tidak menikah ataukah tidak?
Beliau menjawab: Termaktub dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَـرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَـرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; sebab puasa dapat menekan syahwatnya.” (HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah)

Kemampuan untuk menikah ialah kesanggupan untuk memberi nafkah, bukan kemampuan untuk berhubungan badan.

Hadits ini hanyalah perintah yang ditujukan kepada orang yang mampu melakukan hubungan badan. Karena itu beliau memerintahkan siapa yang tidak mampu untuk menikah agar berpuasa; sebab puasa dapat mengekang syahwatnya.

Bagi siapa yang tidak mempunyai harta; apakah dianjurkan untuk meminjam lalu menikah? Mengenai hal ini diperselisihkan dalam madzhab Imam Ahmad dan selainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…” [QS .An-Nuur: 33].

Adapun ‘laki-laki yang shalih’ adalah orang yang melakukan kewajibannya, baik hak-hak Allah maupun hak-hak para hamba-Nya. (Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/6))

Selasa, 22 Maret 2016

Pengertian Wasiat, Hukum, Rukun Tinjauan Al Quran Hadist

Dalam syariah Islam memang kita mengenal adanya hukum wasiat dan hukum waris sekaligus. Keduanya wajib dijalankan dengan sungguh-sungguh, karena masing-masing punya dasar hukum dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma ulama.

Dalam implementasinya, syariat Islam juga mengatur pembagian wilayah untuk masing-masingnya. Kapan dan dimana berlakunya hukum wasiat, semua sudah diatur sedemikian rupa. Dan kapan serta dimana harus diberlakukan hukum waris, juga sudah diatur sedemikian rupa. Sehingga antara wasiat dan waris tidak mungkin tumpang tindih, kalau kita benar-benar menerapkan syariah Islam dengan benar.

Kata wasiat terambil dari kata washshaitu, asy-syaia, uushiihi, artinya aushaituhu (aku menyampaikan sesuatu). Secara istilah wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain (berupa barang, piutang atau manfaat) untuk dimiliki oleh si penerima sesudah orang yang berwasiat mati.

Pengertian Wasiat, Hukum, Rukun Tinjauan Al Quran Hadist



Perbedaan Wasiat dan Hibah:

Perolehan dari hibah terjadi pada saat itu juga; dan berupa barang.
Pemilikan wasiat terjadi setelah orang yang berwasiat meninggal dunia; bisa berupa barang, piutang, ataupun manfaat.

Dasar Hukum Wasiat

Hukum wasiat dalam Al Quran

Kalau diurutkan berdasarkan periode pensyariatannya, nampaknya syariat Islam yang terkait dengan hukum-hukum wasiat lebih dahulu diturunkan. Dan pada masa awal, ada periode dimana hukum waris belum turun dan juga belum berlaku.

Sehingga di masa itu, segala hal yang terkait dengan harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, semuanya ditetapkan berdasarkan wasiat almarhum semasa hidupnya.

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf . Hal itu adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah : 180)

Dengan adanya ayat di atas, sebenarnya tidak terlalu salah-salah amat ketika di dalam keluarga ada yang selalu berupaya agar wasiat dari orang tua wajib dijalankan. Khususnya wasiat yang terkait dengan harta-harta milik beliau.

Dan pada saat ayat ini turun, berlaku hukum kewajiban untuk menjalankan wasiat. Dan siapa yang melanggar wasiat almarhum, tentu dia akan berdosa besar.

Hukum wasiat dalam Al-Hadits:

Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim, dari Ibnu Umar r.a., dia berkata: Telah bersabda Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam: “ Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikannya.” Ibnu Umar berkata : Tidak berlalu bagiku satu malam pun sejak aku mendengar Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Mengucapkan hadist itu kecuali wasiatku berada di sisiku."

Makna dari hadist ini adalah bahwa yang demikian ini merupakan suatu keberhati-hatian, sebab selalu terbukanya kemungkinan orang yang berwasiat itu mati secara tiba-tiba.

Pendapat Imam Syafi'i:

Tidak ada keberhati-hatian dan keteguhan bagi seorang muslim, melainkan bila wasiatnya itu tertulis dan berada di sisinya bila dia mempunyai sesuatu yang hendak di wasiatkan, sebab dia tidak tahu kapan ajalnya datang, sebab jika dia mati sedangkan wasiatnya itu tidak tertulis dan tidak berada disisinya, maka wasiatnya mungkin tidak kesampaian.

Hukum Wasiat:

Hukum wasiat adalah tergantung dari kondisi yang menyertainya:

Wajib :

Jika ada kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan jika tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajbian zakat atau haji yang belum ditunaikan, atau dia mempunyai amanat yang harus disampaikan , atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui selain oleh dirinya atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksiakan.

Sunnah :

Jika diperuntukkan bagi kebajikan karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang shaleh tanpa membuat ahl waris jadi terlantar/ karena banyaknya harta peninggalannya banyak dan khawatir ahli warisnya kurang mampu memanfaatkannya..

Haram :

Jika ia merugikan ahli waris atau mewasiatkan barang-barang yang haram sseperti khamar, membangun gereja atau tempat hiburan.

Makruh :

Jika jumlah harta sedikit tetapi mempunyai banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya, atau berwasiat untuk orang fasik ataupun ahli maksiat.

Boleh/Ja’iz:

Bila ditujukan kepada orang kaya, baik kerabat maupun bukan kerabat.

Baca juga:

3 Wasiat Rasulullah Yang Jangan Ditinggalkan Demi Surga


Rukun Wasiat

Redaksi Wasiat (shighat).

Tidak ada redaksi khusus untuk wasiat. Jadi, wasiat sah diucapkan dengan redaksi bagaimanapun, yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara sukarela sesudah wafat. Jadi, jika si pemberi wasiat berkata, “Aku mewasiatkan barang anu untuk si Fulan,” maka ucapan itu sudah menyatakan adanya wasiat, tanpa harus disertai tambahan (qayd) “sesudah aku meninggal”. Tetapi jika si pemberi wasiat mengatakan, “Berikanlah” atau “Kuperuntukkan” atau “Barang ini untuk si Fulan”, maka tak dapat tidak mesti diberi tambahan “setelah aku meninggal”, sebab kata-kata tersebut semuanya tidak menyatakan maksud berwasiat, tanpa adanya tambahan kata-kata tersebut.

Pemberi Wasiat (mushiy).

Orang yang berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan orang yang gila, balig dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh tahun penuh diperbolehkan (ja’iz), sebab Khalifah Umar memperbolehkannya. Tentu saja pemberi wasiat itu adalah pemilik barang yang sah hak pemilikannya terhadap orang lain. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang dungu dan orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar, wasiat mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang dapat mengetahui apa yang mereka wasiatkan.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 194 dinyatakan bahwa orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain. Harta benda yang diwasiatkan itu harus merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan barang yang diwasiatkan itu baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Dikemukakan pula batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah yang benar-benar telah dewasa secara undang-undang. [Terdapat perbedaan dengan batasan baligh dalam kitab-kitab fiqih ].

Penerima Wasiat (mushan lahu).

Penerima wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi, juga untuk seorang Muslim, sesuai dengan firman Allah: Artinya:

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil." (Q.S. Al-Mumtahanah: 8).

Wasiat bagi anak yang masih dalam kandungan adalah sah dengan syarat bahwa ia lahir dalam keadaan hidup, sebab wasiat berlaku seperti berlakunya pewarisan. Dan menurut ijma’, bayi dalam kandungan berhak memperoleh warisan. Karena itu ia juga berhak menerima wasiat.

Barang yang Diwasiatkan (mushan bihi).

Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti harta atau rumah dan kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan benda yang menurut kebiasaan lazimnya tidak bisa dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak bisa dimiliki secara syar’i, seperti minuman keras, jika pemberi wasiat seorang Muslim, sebab wasiat identik dengan pemilikan, maka jika pemilikan tidak bisa dilakukan, berarti tidak ada wasiat. Sah juga mewasiatkan buah-buahan di kebun untuk tahun tertentu atau untuk selamanya.

Kalimat wasiat (lafadz).

Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta dan tidak boleh lebih dari itu kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yag berwasiat itu meninggal.

Batalnya Wasiat :

  • Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila parah yang mengantarnya kepada kematian.
  • Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberinya.
  • Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh penerima wasiat.

Beberapa Keterangan dari Hadits.
Bukan untuk ahli waris (untuk wasiat harta):

ابي امامة قال: سمعت رسول الله صلعم يقول: انّ الله قد اعطى كلّ ذي حقّ حقّه فلا وصية لوارث -

"Dari Abu Umamah beliau berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat bagi seorang ahli waris". (HR. Lima Ahli Hadits selain Nasai)

Jumlah maksimal yang boleh diwasiatkan adalah 1/3 dari harta peninggalan

Jika ternyata lebih maka boleh dikurangi hingga sejumlah maksimal 1/3 saja, kecuali semua ahli waris mengizinkan.

Dari Ibnu Abbas:

قال الناس غضوا من الثلث الى الربع فا ان رسول الله ص م قال الثلث والثلث كثير

“Alangkah baiknya kalau manusia kurangkan (washiatnya) dari sepertiga kepada seperempat! karena Rasulullah saw, bersabda: ‘(Boleh) sepertiga, tetapi sepertia itupun banyak" (HR.Bukhari dan Muslim).
Baca juga:

Wasiat Rasulullah SAW Agar Para Suami Perhatikan Istri


Semoga artikel Pengertian Wasiat, Hukum, Rukun Tinjauan Al Quran Hadist ini bermanfaat. Barokallahu fiikum..

Kamis, 17 Maret 2016

Fenomena Anak Indigo Menurut Islam

Orang yang mempunyai kemampuan untuk melihat dimesi lain dinamakan orang indigo. Merka bisa melihat dunia jin dan para mahluk ghaib serta bisa ber interaksi dan berkomunikasi dengan mereka. Nah sekarang bagaimana fenomena orang orang berkemampuan seperti ini menurut Islam. Akan kami berikan berdasar dalil Al QUran dan Hadist sebagai sumber hukum tertinggi yang mengatur dan menjelaskan serta sebagai pedoman kehidupan manusia di dunia ini.

Fenomena Anak Indigo Menurut Islam disertai dalil dalam Al Quran dan Hadist




Tidak ada yang mengetahui yang ghaib kecuali Allah subhanahu wa ta'ala.

“Kunci-kunci perkara ghaib itu ada lima dan tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah: Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi besok kecuali Allah; tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang ada di dalam rahim kecuali Allah; tidak ada satu jiwapun mengetahui apa yang akan diperbuatnya besok; tidak mengetahui di negeri mana (seseorang) meninggal kecuali Allah; tidak ada yang mengetahui kapan turunnya hujan melainkan Allah; dan tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Ahmad)

Seringkali anak indigo bertindak sebagai dukun ramal. Bisa melihat kejadian masa depan dan memberikan gambaran dan pandangan tentang apa yang terjadi di masa depan. Nah jika melihat ayat Al Quran diatas maka ini menjadi tertolak. Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam berkata:

Dari ‘Aisyah ra. ia berkata: Beberapa orang bertanya kepada Rasulullah tentang dukun-dukun. Rasulullah berkata kepada mereka: “Mereka tidak (memiliki) kebenaran sedikitpun.” Mereka (para shahabat) berkata: “Terkadang para dukun itu menyampaikan sesuatu dan benar terjadi.” Rasulullah menjawab: “Kalimat yang mereka sampaikan itu datang dari Allah yang telah disambar (dicuri, red) oleh para jin, lalu para jin itu membisikkan ke telinga wali-walinya sebagaimana berkoteknya ayam dan mereka mencampurnya dengan seratus kedustaan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim )
Baca juga:

membuka mata batin melihat dunia jin


Percaya pada ramalan indigo maka sholatnya tidak diterima selama 40 hari

Dan kita sebagai muslim dilarang untuk percaya terhadap ramalan yang dikatan oleh orang orang atau anak indigo.

"Barang siapa yang mendatangi seorang dukun dan bertanya sesuatu maka dia tidak akan diterima sholatnya selama empat puluh hari." (HR. Muslim)

“Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga; ia menanggalkan pakaiannya dari keduanya untuk memperlihatkan–kepada keduanya–‘auratnya. Sesungguhnya, ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al-A’raf:27)

Sebab Mengapa Orang Mengaku Bisa Melihat Jin

Ada 2 kemungkinan dari penglihatannya jin yang terjadi pada manusia, yaitu :

Ada jin (baik satu maupun lebih ) yang tinggal dalam dirinya.

Ini membuat orang yang disemayami mampu melihat "teman" dari jin yang bersemayam tersebut. Tentu saja, orang tersebut bisa melihat jin dan orang lain tidak bisa melihat karena orang lain tidak disemayami jin. Artinya seorang yang mengaku melihat setan sebenarnya pikirannya sedang dikuasai setan. Sehingga seolah-olah dia yang melihat makhluk halus itu padahal dia itu diperlihatkan oleh setan bukan dia sendiri yang melihat secara langsung.
Baca juga:

Tempat Tinggal kesukaan Jin di Badan 


Orang yang melihat jin tersebut melakukan dusta atas penglihatan jinnya. 

Karena kadang karena barangkali pikirannya sedang kacau atau mabuk pada waktu melihat pohon dikira melihat hantu misalnya. Atau karena kepentingan tertentu seperti urusan uang. Kemudian orang itu rela berbohong tentang hal seperti itu.
Baca juga:

Anak Indigo Melihat Jin Itu Ternyata Gangguan Jin


Kenapa orang bisa menderita ‘indigo’ ?

Indigo adalah fenomena luar biasa menurut sebagian orang dan patut disyukuri sebagai sebuah karunia Tuhan. Begitulah kata sebagian orang yang dangkal tentang akidah islam. Padahal islam memandang hal itu lebih mengarah kepada hal yang sifatnya syirik. Berdasarkan pengalaman para peruqyah, orang kemampuan indigo ini kemungkinan ada salah satu dari leluhur anak indigo yang melakukan persekutuan dengan jin. Karena leluhurnya sudah meninggal sementara jin itu masih terikat perjanjian maka anak keturunannya lah yang menggantikan nya. Dan ini menyebabkan jin yang bersemayam dalam diri keturunannya. Lalu, apa ya orang indigo bisa memprediksi masa depan?
Baca juga:

Tanda atau ciri terkena gangguan jin, gangguan sihir atau penyakit ain


Itu sebenarnya kerjaan dari jin yang bersemayam dalam dirinya. (tentu jin musyrik) yang banyak bertapa sehingga memiliki kekuatan yang besar dan mampu meramalkan masa depan (dan bisa jadi itu semua skenario jin tersebut)

Apa anak indigo mampu melihat roh orang yang sudah meninggal? 

Sebagai seorang muslim, kita wajib tidak percaya pada hal tersebut, kenapa? karena alam sesudah kematian di Dunia adalah alam barzah. di alam barzahlah kita akan ditanya oleh 2 malaikat [Munkar dan Nakir] dan setelah ditanya, apakah amalan kita baik atau buruk, maka jika buruk kita akan mendapatkan siksa kubur dan jika baik Allah akan membukakan pintu surga sehingga bau surga yang wangi akan senantiasa semerbak di kubur kita. Adapun masalah melihat orang meninggal, itu sebenarnya bukanlah orang yang sudah meninggal, itu adalah sifat kurang kerjaan dari jin musyrik yang menyerupai orang yang sudah meinggal. Untuk menakut-nakuti orang bodoh atau untuk menyesatkan orang-orang disekitar situ.
Baca juga:

Siksa Kubur dan Amalan Penyelamatnya


Apa anak indigo bisa dihilangkan kemampuannya itu?

Bisa, yaitu dengan metoda ruqyah, yaitu membacakan ayat Allah SWT disampin orang yang memiliki indigo. Namun, perlu kita tahu, jika seorang itu merupakan indigo kuat jin yang didalamnya kuat) maka akan lebih lagi tingkatan dalam ruqyahnya, namun tetap saja bisa dihilangkan selama ia mau untuk menghilangkannya.
Baca juga:

Cara Mengatasi Menyembuhkan Anak Indigo (testimonial)


Demikian sedikit ulasan tentang pembahasan tentang indigo dalam pandangan agama islam dari majelis ashabul muslimin. Yang salah datangnya dari kami. Segala kebenaran milik Allah subhanahu wa ta'ala yang MAHA BENAR. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala melindungi kita dari fitnah akhir zaman dan fitnah dajjal beserta ajarannya, amiien.

Barokallahu fiikum..

Hukum Nadzar Dalam Agama Islam

Banyak sekali terjadi di sekitar kita, manusia ber nazar untuk dengan niatan agar hajatnya tercapai dan terpenuhi. Biasanya jika dia sedang sakit parah, maka ia berdzar jika sembuh dari sakit ini maka akan membangun atau menyumbang sebuah masjid. Atau jika ingin mecapai suatu kedudukan dalam karir atau mendapatkan pekerjaan maka dia ber dzar jika naik pangkat atau dapat kerja akan bersedekah dengan jumlah tertentu ke yatim piatu dan lain sebagainya.

Jadi pada intinya nazar itu membebankan pada diri sendiri suatu hal yang sebenarnya tidak wajib.

Lalu bagaimana hukum nadzar dalam agama Islam? Maka pada post kali ini akan kami berikan dalil sesuai Al Quran dan hadist sahih Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

Hukum Nadzar Dalam Agama Islam disertai penjelasan sesuai Al Quran dan Hadist



Nadzar itu sebenarnya dilarang oleh Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

“Janganlah bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1640)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau juga berkata,

نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ »

“Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk bernazar, beliau bersabda: ‘Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.” (HR. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)

Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ قَدَّرَهُ لَهُ وَلَكِنِ النَّذْرُ يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ يَكُنِ الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَ

“Sungguh nazar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah takdirkan. Hasil nazar itulah yang Allah takdirkan. Nazar hanyalah dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang bernazar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan. ” (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640)

Akan tetapi, jika terlanjur mengucapkan, maka nazar tersebut tetap wajib ditunaikan.

Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Menunaikan Nazar

Allah tabaraka wa ta'ala berfirman,

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ

“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj: 29)

Allah azza wa jalla juga berfirman,

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ

“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 270)

Allah Ta’ala juga memuji orang-orang yang menunaikan nazarnya,

إِنَّ الأبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (٥)عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (٦)يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (٧)

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 5-7)
Baca juga:

Sami'na Wa Atho'na Terhadap Sunnah


Dosa jika tidak menunaikan nadzar yang sudah di ucapkan

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)

Dari ‘Imron bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

خَيْرُكُمْ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ – قَالَ عِمْرَانُ لاَ أَدْرِى ذَكَرَ ثِنْتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا بَعْدَ قَرْنِهِ – ثُمَّ يَجِىءُ قَوْمٌ يَنْذُرُونَ وَلاَ يَفُونَ ، …

“Sebaik-baik kalian adalah orang-orang yang berada di generasiku, kemudian orang-orang setelahnya dan orang-orang setelahnya lagi. -‘Imron berkata, ‘Aku tidak mengetahui penyebutan generasi setelahnya itu sampai dua atau tiga kali’-. Kemudian datanglah suatu kaum yang bernazar lalu mereka tidak menunaikannya, …. ” (HR. Bukhari no. 2651). Hadits ini menunjukkan berdosanya orang yang tidak menunaikan nazar.
Baca juga:

Efek Dahsyat Saat Lupa Akan Nazar Yang Terucap


Perbedaan pendapat ulama tentang nadzar

Dari ayat dan hadits di atas, kebanyakan ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah –seperti Imam Nawawi dan Al Ghozali- berpendapat bahwa hukum nazar adalah sunnah.

Nadzar ada dua macam


Nazar mu’allaq untuk memperoleh manfaat.

Maksud nazar ini adalah dengan bersyarat, yaitu jika permintaannya terkabul, barulah ia akan melakukan ketaatan. Contohnya, seseorang yang bernazar, “Jika Allah menyembuhkan saya dari penyakit ini, maka saya akan bersedekah sebesar Rp.1.000.000.”

Nazar muthlaq, artinya tidak menyebutkan syarat. 

Contohnya, seseorang yang bernazar, “Aku ikhlas pada Allah mewajibkan diriku bersedekah untuk masjid sebesar Rp.1.000.000”.

Dari berbagai contoh hadist yang di uraikan di atas ini bisa menunjukkan bahwa nazar yang pertama iitu lah yang dilarang oleh  Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Ini dikarenakan niat nazar nya tidak ikhlas untuk Allah subhanahu wa ta'ala, tapi hanya bernadzar supaya penyakitnya itu sembuh. Jika tidak sembuh maka ia tidak bersedekah. Maka itu lah kenapa Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan orang yang bernazar seperti yang pertama itu orng orang yang pelit.
Baca juga:

ikhlas dalam amal dan ibadah


Nadzar tidak akan bisa merubah takdir

Dan jangan pernah berpikir dengan nazar itu, Allah akan merubah takdir dari yang sebenarnya di takdirkan menjadi pedagang tapi karena ia bernadzar menjadi pegawai negeri maka Allah akan merubah takdir orang itu.

Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,

النَّذْرُ لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

“Nazar sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah takdirkan. Sungguh nazar hanyalah keluar dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1639)

Nazar dilihat dari hal yang dinazari (al mandzur) dibagi menjadi dua macam:

Nazar taat.

Seperti seseorang mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang sunnah (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, i’tikaf sunnah, haji sunnah) atau melakukan amalan wajib yang dikaitkan dengan sifat tertentu (seperti bernazar untuk melaksanakan shalat lima waktu di awal waktu).

Adapun jika seseorang bernazar untuk melakukan shalat lima waktu atau melakukan puasa Ramadhan, maka bentuk semacam ini tidak dianggap nazar karena hal tersebut sudah wajib. Hal yang telah Allah wajibkan tentu lebih agung daripada hal yang diwajibkan lewat nazar.

Hukum penunaian nazar taat

Hukum penunaiannya adalah wajib, baik nazar tersebut nazar mu’allaq atau nazar muthlaq. Dalil yang menunjukkan wajibnya adalah,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut.” (HR. Bukhari no. 6696)
Dalil lainnya, dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,

أَنَّ عُمَرَ – رضى الله عنه – نَذَرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ – قَالَ أُرَاهُ قَالَ – لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَوْفِ بِنَذْرِكَ »

“Dahulu di masa jahiliyah, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bernazar untuk beri’tikaf di masjidil haram –yaitu i’tikaf pada suatu malam-, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, ‘Tunaikanlah nazarmu’.” (HR. Bukhari no. 2043 dan Muslim no. 1656)

Jika nazar tidak mampu ditunaikan

Jika nazar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun jika nazar yang diucapkan tidak mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang bernazar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu. Jika nazar seperti ini tidak ditunaikan lantas apa gantinya?

Barangsiapa yang bernazar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka nazar tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah. Kafaroh sumpah adalah:
  • Memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau
  • Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
  • Memerdekakan satu orang budak
Jika tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. (Lihat Surat Al Maidah ayat 89)

Kedua, nazar yang bukan bentuk taat.

Nazar jenis kedua ini dibagi menjadi dua macam: (1) nazar mubah, (2) nazar maksiat.

Nazar mubah

Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan berenang selama lima jam.” Nazar seperti ini bukanlah nazar taat, namun nazar mubah. Untuk penunaiannya tidaklah wajib. Bahkan jumhur (mayoritas ulama) menyatakan bahwa bentuk seperti ini bukanlah nazar.

Nazar maksiat

Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan traktir teman-teman mabuk-mabukan.” Nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan berdasarkan hadits,

وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

“Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)

Lalu apakah ada kafaroh? Jawabnya, tetap ada kafaroh berdasarkan hadits,

النذر نذران : فما كان لله ؛ فكفارته الوفاء وما كان للشيطان ؛ فلا وفاء فيه وعليه كفارة يمين

“Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka wajib ditunaikan. Jika nazarnya adalah nazar maksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah.” (HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 479)
Semoga artikel Hukum Nadzar Dalam Agama Islam ini bermanfaat
Barokallahu fiikum..

Referensi:
  • Rumasyo
  • Min’atul Mun’im fii Syarh Shahih Muslim, Shofiyurrahman Al Mubarakfuri, terbitan Darul Salam, cetakan pertama, 1420 H, 3/96-96
  • Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal As Sayid Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah, 2/315-331

Senin, 14 Maret 2016

Pandangan Mata Saat Sholat

Pada saat shalat kadang kita melihat ada beberapa saudara muslim yang ternyata mengarahkan pandangan nya lurus kedepan dan kadang ada juga beberapa orang yang bahkan mengarahkan pandangannya ke atas. Tahukah anda sahabat muslim bahwa itu dilarang oleh Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

Pandangan Mata Saat Sholat yang di contohkan Rasulullah SAW beserta dalil dan larangan untuk melihat ke atas saat sholat



Larangan keras dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika melihat ke atas saat shalat

Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ.

“Hendaklah orang-orang benar-benar menyudahi mengangkat pandangan mereka ke atas langit ketika shalat, atau pandangan mereka tidak akan kembali kepada mereka.” (HR. Muslim)

Anas bin Malik radhiyaAllahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ. فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ: لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ.

“Mengapa orang-orang itu mengangkat pandangan mereka ke langit ketika shalat.” Ucapan beliau sangat keras dalam masalah ini, sampai-sampai beliau mengatakan:” Hendaknya mereka benar-benar menyudahi hal itu atau pandangan mereka benar-benar akan disambar/diambil.” (HR. Bukhori)
Baca juga:

Saat Lupa dan Ragu dalam Shalat


Nah dari hadist di atas Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sudah melarang keras pada saat sholat untuk melihat ke atas.

Adapun yang disunnahkan adalah memandang ke tempat sujud. Para sahabat berkata:

كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَى بِبَصَرِهِ نَحْوَ اْلأَرْضِ.

"Adalah Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dahulu apabila mengerjakan shalat beliau menundukan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke bumi (bawah)." (Hadis sahih riwayat al-Baihaqi dan al-Hakim)
Baca juga:

rahasia khusyuk dalam sholat


Pandangan mata Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam saat sholat

Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyaAllahu anha bertutur:

لَمَّا دَخَلَ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُوْدِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا.

“Ketika masuk ke Ka’bah, pandangan beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak berpindah dari tempat sujud hingga keluar darinya.” (Hadis sahih riwayat al-Baihaqi dan al-Hakim)
Baca juga:

Sami'na Wa Atho'na Terhadap Sunnah


Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk dapat mengerjakan shalat dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Aamiin,

Barokallahu fiikum..

Bolehkah Membaca Al Quran Di Dalam Hati?

Banyak sekali pertanyaan yang masuk tentang bagaimana hukumnya membaca Al Quran dalam hati. Al Quran adalah kitab suci umat Islam yang wajib dibaca di resapi dan diamalkan oleh para pengikutnya.
Bolehkah Membaca Al Quran Di Dalam Hati? jawaban disertai dalil hadist dan pendapat para ulama



Wasiat Rasulullah SAW untuk para pengikutnya

Abu Dzar berkata, “Demi Ayah dan Ibuku, berilah Aku wasiat Ya Rasulullah!” Rasulullah menjawab, “Aku berwasiat kepadamu agar bertaqwa kepada Allah, karena ia merupakan pangkal seluruh urusan.” Abu Dzar, “Tambahlah ya Rasulullah!” Jawab beliau, “Hendaklah kamu membaca al-Qur’an dan banyak mengingat Allah, karena itu akan membuatmu disebut–sebut di langit.” (Shahih Ibnu Hibban dalam syarah Hadits Arbain an-Nawawi)
Baca juga:

Saat saat Allah menyapa dirimu


Puasa dan Al Quran akan menjadi syafa'at di hari kiamat

Dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash, Rasul bersabda, “Puasa dan al-Qur’an akan memberi syafaat pada hari kiamat.” Kata Puasa, “Wahai Tuhanku, aku telah mencegahnya dari makan dan syahwat di siang hari, oleh karena itu terimalah syafa’atku untuknya.” al-Qur’an kemudian berkata, “Wahai Tuhanku, aku telah mencegahnya dari tidur di malam hari, oleh karena itu terimalah syafa’atku untuknya.” Rasul bersabda, “Maka, kedua permintaan tersebut diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’alaa.” (HR. Ahmad)
Baca juga:

sosok wanita yang selalu berbicara dengan ayat suci Al Quran


Mengeraskan bacaan saat membaca Al Quran

“Bukan termasuk bagian kami, orang yang tidak yataghanna terhadap Alquran.” (HR. Bukhari no. 7089) 

Al-Khithobi mengatakan, “Sebagian ulama beranggapan bahwa ‘mengeraskannya’ adalah tafsir untuk sabda Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam‘yataghanna’.” (Aunul Ma’bud, 4:241)

Pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah tentang  hukum membaca Al Quran dalam hati

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya hal serupa, beliau menjawab, “Qira’ah itu harus dengan lisan. Jika seseorang membaca bacaan-bacaan shalat dengan hati saja, ini tidak dibolehkan. Demikian juga bacaan-bacaan yang lain, tidak boleh hanya dengan hati. Namun harus menggerakan lisan dan bibirnya, barulah disebut sebagai aqwal (perkataan). Dan tidak dapat dikatakan aqwal, jika tanpa lisan dan bergeraknya bibir.” (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 13:156) 
Baca juga:

Panduan menghafal Al Quran bagi anak


Nah dengan demikian hukum membaca Al Quran dalam hati itu tidak diperbolehkan. Tidak ada pahala yang didapat dan bisa jadi menjadi dosa di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala... wallahu'alam

Barokallahu fiikum..

Senin, 07 Maret 2016

Hukum Dzikir Lafaz Allah Hu

Hukum Dzikir dengan Lafaz: Allah… Allah.. atau hu…hu…

Tanya:

Tadz, bgmn hukum dzikir dg cuma baca: Allah… Allah.. atau hu.. hu… Krn ada beberapa thoriqat yg aku tahu mempraktekkan dzikir sperti itu.

Terima kasih

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Ada beberapa prinsip yang perlu kita pahami terkait dzikir kepada Allah.
Hukum Dzikir Lafaz Allah Hu disertai penjelasan dalil dalam hadist



Hakekat dzikir kepada Allah adalah memuji Allah dengan pujian yang layak untuk Allah. 

Karena itu, kita tidak boleh memberikan pujian yang tidak layak untuk Allah, sekalipun itu pujian yang baik untuk makhluk. Misalnya: sifat subur, dalam arti: berpotensi memiliki anak dan keturunan. Bagi makhluk, ini sifat sempurna. Karena mandul adalah sifat yang buruk bagi makhluk. Sebaliknya, bagi Allah, ini sifat yang tidak layak diberikan kepada Allah, karena Allah Maha Suci dari memiliki anak dan keturunan.

Karena itu, yang paling tahu tentang cara memuji Allah yang benar Allah sendiri, dan bentuk memuji Allah yang paling sempurna adalah dengan cara dan lafal yang Allah ajarkan. Dalam salah satu doanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutarakan pujiannya,

…وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِك

Aku berlindung kepada-Mu dari hukuman-Mu, aku tidak mampu menyebut semua pujian untuk-Mu, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri..(HR. Muslim 486, Nasai 169, Abu Daud 879, dan yang lainnya).

 Baca juga: dzikir perlindungan terutama dari jin sihir dan kejahatan


Dzikir itu harus dalam bahasa arab yang benar

Satu kalimat disebut memiliki makna sempurna jika dia berbentu kalam atau jumlah mufidah (kalimat sempurna).

Jumlah mufidah ada 2:

Jumlah ismiyah: kalimat yang diawali isim, yang membentuk susunan mubtada’ – khabar (subjek – prediket). Misalnya: Ahmad seorang guru. Ahmad: mubtada’ (subjek), dan seorang guru: khabar (prediket).

Jumlah fi’liyah: kalimat yang diawali fi’il (kata kerja), yang membentuk susunan fi’il – fa’il (pelaku). Susunan semacam ini mungkin tidak lazim dalam bahasa indonesia, namun ini ma’ruf dalam bahasa arab. Misalnya: Telah datang Ahmad. Telah datang: fi’il (kata kerja), dan Adi: fa’il (pelaku).
Karena itu, bukan termasuk kalimat sempurna ketika hanya tersusun dari SATU kata, tanpa kata lainnya. Misalnya, ada orang yang mengucapkan: Ahmad… Ahmad…

Orang yang mendengar tidak akan memahami apapun. Ada apa dengan Ahmad? Ahmad kenapa? Kecuali jika dia mengucapkan kata ‘Ahmad’ karena menjawab pertanyaan. Misal, “Siapa yang datang?” kemudian ada orang menjawab, “Ahmad.”

Kemudian, kalimat semacam ini juga bukan pujian untuk Ahmad.

Berbeda ketika ada orang mengatakan: Ahmad pinter, Ahmad dermawan, Ahmah Cah bagus, dst. Pendengar akan memahami apa yang diucapkan dan dia juga menyadari bahwa itu pujian.

Zikir dengan lafal: Allah… Allah…


Dengan memahami dua pengantar di atas, kita bisa mengetahui status zikir dengan lafal Allah… Allah… atau hu… hu… Para ulama menyebutkan dengan zikir dengan isim mufrad (dzikir dengan satu kata).

Syaikhul Islam mengatakan

والذكر بالاسم المفرد مظهرا ومضمرا بدعة في الشرع وخطأ في القول واللغة فإن الاسم المجرد ليس هو كلاما لا إيمانا ولا كفرا

Zikir dengan isi mufrad (satu kata), baik lahir (diucapkan) maupun batin (dalam hati) adalah bid’ah dalam syariat, salah secara etika berbicara dan keliru secara bahasa. Karena satu kata, bukan kalam (kalimat sempurna), bukan iman dan bukan pula kekafiran. (Majmu’ Al-Fatawa, 10/396).

Syaikhul islam menyebut zikir ini sebagai tindakan bid’ah karena tidak ada satupun dalil yang menyebutkannya. Tidak pula dipraktekkan para sahabat dan orang soleh masa silam.

Kemudian beliau menegaskan bahwa zikir semacam ini kesalahan dalam etika bicara dan tinjauan bahasa. Karena satu kata, tidak bisa disebut kalimat sempurna. Orang mengatakan Allah.., Allah.., tidak bisa disebut memuji maupun mencela Allah. Karena dalam kalimat ini tidak mengandung unsur pujian maupun celaan.

Berbeda ketika seseorang mengatakan, Allahu Akbar., Allahu Ar-Rahman., Allah Yang Maha Esa, dst. kalimat semacam ini sempurna dan mengandung unsur pujian.

Kemudian Syaikhul Islam menyebutkan beberapa dalil tentang zikir yang paling utama dalam syariat,

وقد ثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: أفضل الكلام بعد القرآن أربع وهن من القرآن: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر

Terdapat dalam hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ucapan yang paling afdhal setelah Al-Quran ada 4, dan semuanya dari Al-Quran: Subhanallah, Alhamdu lillah, Laa ilaaha illallah, dan Allahu akbar. (HR. Ahmad 20223 dan sanadnya dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth)

Baca juga: keutamaan dzikir setelah sholat subuh


Dzikir paling utama menurut Rasulullah SAW

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

أفضل الذكر لا إله إلا الله

Zikir yang paling utama adalah Laa ilaaha illallah (HR. Turmudzi 3383, Ibn Majah 3800 dan dinilai hasan oleh Al-Albani)

Dalam hadis lain, beliau bersabda,

أفضل ما قلت أنا والنبيون من قبلي: لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير

Kalimat terbaik yang kuucapkan dan diucapkan para nabi sebelumku adalah Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syaiin qadiir.

(Majmu’ Al-Fatawa, 10/396).

Dalam Al-Quran maupun hadis, Allah tidak pernah mengajarkan kepada kita zikir dengan lafal Allah… Allah…, namun dengan lafal lengkap yang mengandung pujian: Subhanallah.., alhamdulillah, Allahu Akbar, atau Laa ilaaha illallaah, dst.

Baca juga: Faedah Pahala Dzikir Laa ilaaha illallaah



Dzikir yang di lafadzkan oleh bilal

Anda yang pernah membaca sirah nabawiyah tentu pernah mendengar ini. Bilal bin Rabah, sahabat mulia yang ketika masuk islam masih menjadi budak Umayah bin Khalaf. Belliau disiksa dengan sangat sadis oleh sang majikan. Di terik padang pasir yang sangat panas, ditindih batu besar yang panas, dipaksa untuk mengucapkan Lata.., Uzza, namun Bilal hanya mengucapkan, Ahad…Ahad. Tidak mempan disiksa di padang pasir yang panas, lehernya diberi tali dan diseret, diarak di kota Mekah, namun Bilal hanya menjawab: Ahad…Ahad.

Sebagian orang berdalil dengan zikir Bilal ini untuk melegalkan zikir dengan lafal mufrad: Allah..Allah.. Tentu saja ini adalah pendalilan yang tidak pada tempatnya. Karena beberapa alasan,

Apa yang diucapkan Bilal adalah pujian untuk Allah. Bilal mengucapkan Ahad, Ahad, Dzat Yang Maha Esa, dan ini kalimat pujian untuk Allah.

Bilal mengucapkan Ahad, Ahad, sebagai jawaban untuk paksaan orang musyrik agar Bilal menyekutukan Allah, dengan memuji Lata dan Uzza. Karena itu, sejatinya ucapan Bilal ini bukan kata tunggal, tapi jawaban untuk paksaan orang musyrik.

Baca juga: Siapa Al Latta dan Al Uzza berhala di jaman jahiliyah


Allahu a’lam

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits

Artikel Terbaru