Tampilkan postingan dengan label Syiar_Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Syiar_Islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 April 2016

Panduan Memilih Suami Dalam Islam

Islam.

Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221)

Berilmu dan Baik Akhlaknya.

Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi)
baca juga:

Ciri Manusia Dengan Ahlak Terpuji Dalam Dakwah



Panduan Memilih Suami Dalam Islam disertai dalil dalam Al Quran dan Hadist

Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)

Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.

Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu :

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)

Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki :

“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”

Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.

Umumnya setiap orang yang dewasa pasti ingin menikah untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah war rahmah atau keluarga yang bahagia di dunia dan akhirat. Apalagi nikah adalah satu perintah agama:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur:32)

Barangsiapa kawin (beristeri) maka dia telah melindungi (menguasai) separo agamanya, karena itu hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi. (HR. Al Hakim dan Ath-Thahawi)
baca juga:

Taqwa Sebagai Salah Satu Kunci Surga


Hadis riwayat Anas ra.:

Bahwa beberapa orang sahabat Nabi saw. bertanya secara diam-diam kepada istri-istri Nabi saw. tentang amal ibadah beliau. Lalu di antara mereka ada yang mengatakan: Aku tidak akan menikah dengan wanita. Yang lain berkata: Aku tidak akan memakan daging. Dan yang lain lagi mengatakan: Aku tidak akan tidur dengan alas. Mendengar itu, Nabi saw. memuji Allah dan bersabda: Apa yang diinginkan orang-orang yang berkata begini, begini! Padahal aku sendiri salat dan tidur, berpuasa dan berbuka serta menikahi wanita! Barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku. (Shahih Muslim No.2487)

Hadis riwayat Sa`ad bin Abu Waqqash ra., ia berkata:

Rasulullah saw. melarang Usman bin Mazh`un hidup mengurung diri untuk beribadah dan menjauhi wanita (istri) dan seandainya beliau mengizinkan, niscaya kami akan mengebiri diri. (Shahih Muslim No.2488)

Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” (Muttafaq Alaihi.)
baca juga:

Pengertian Dan Hikmah Pernikahan Dalam Islam (PDF)

Minggu, 10 April 2016

Kedudukan Harta Waris Dalam Islam

Kedudukan Harta Waris Dalam Islam - Para ulama sepakat, dengan kematian seseorang maka ketika itu juga harta berpindah kepemilikan kepada ahli waris. Karena adanya kematian, putuslah hubungan kepemilikan dengan hartanya.

Anas bin Malik berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ فَيَرْجِعُ اِثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ

“Mayit diikuti oleh tiga hal, yang dua kembali dan yang satu menetap. Ia diikuti keluarga, harta dan amalnya, keluarga dan hartanya akan kembali sedangkan amalnya menetap (bersamanya).” (Shahih Muslim 2960-5)

Harta yang di wariskan oleh orang yang telah meninggal

Harta yang diwariskan mayit akan menjadi milik semua ahli waris. Sesuai dengan bagiannya yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jumlah yang dibagikan dihitung setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah, melunasi utang-utangnya, melaksanakan wasiat, nazar, mengeluarkan zakat harta jika si mayit tidak pernah menunaikan zakat hartanya, kafarat, dan kewajiban lainnya.

Seseorang tidak berhak dan tidak boleh menghalangi ahli waris dari mendapatkan haknya atas harta warisan itu. Tidak boleh juga seorang ahli waris menguasai sendiri harta warisan tanpa persetujuan ahli waris lain.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ

“Berikanlah bagian fara`idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak menerimanya. Dan harta yang tersisa setelah pembagian, maka itu bagi pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya).” (HR. Al-Bukhari no. 6235 dan Muslim no. 1615)

Dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada saat khutbah haji wada’:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi masing-masing orang haknya, karenanya tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Daud no. 3565, At-Tirmizi no. 2120, Ibnu Majah no. 2704, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1655)
baca juga:

Pengertian Wasiat, Hukum, Rukun Tinjauan Al Quran Hadist


Kedudukan Harta Waris Dalam Islam disertai dalil dalam Al Quran dan Hadist

Pembagian yang adil dan atas sepengetahuan semua pihak ahli waris

Karena itu, pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan setelah pewaris wafat. Apalagi, jika ada sebagian ahli waris yang memintanya. Kecuali, ada maslahat syar’i yang ingin dicapai sehingga mengharuskan penundaan pembagian harta warisan. Akan tetapi, penundaan itu harus atas persetujuan semua ahli waris.

Seusai diketahui semua ahli waris, juga bagiannya msing-masing, pertambahan dan penyusutan harta setelah itu dikembalikan kepada semua ahli waris agar tidak ada seorang pun yang dizhalimi. Menunda pembagian harta waris akan menzhalimi sebagian ahli waris yang sangat membutuhkannya. Padahal, perbuatan zhalim adalah salah satu dosa besar yang diancam dengan azab yang pedih.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa saalm bersabda:

اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Takutlah terhadap perbuatan zhalim, sebab kezhaliman adalah kegelapan di atas kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhâri no. 2447, Muslim no. 2579)

Penundaan pembagian harta warisan itu juga dapat menyebabkan seseorang memakan harta saudaranya secara batil, misalnya memakan harta anak yatim. Padahal, Allah telah menegaskan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…” (QS. an-Nisa’ [4] : 29).
baca juga:

Merampas Hak Orang Lain Dalam Islam


Penundaan pembagian harta waris menyebabkan perselisihan dan putusnya hubungan silaturahim antar keluarga karena sebagian merasa dizhalimi oleh saudara dan keluarganya sendiri. Selain itu, juga akan mempersulit pembagian harta di masa yang akan datang, mungkin sebagian ahli waris ada yang meninggal lagi.

Para ulama menegaskan, masih hidup salah satu orang tua atau masih kecilnya sebagian ahli waris bukan halangan menyegerakan pembagian harta warisan. Karena, orang tua yang masih hidup juga akan mendapatkan bagian dari harta warisan itu.

Sedangkan, jika ada ahli waris yang masih kecil maka bagiannya tetap harus diberikan. Dengan cara, diamanatkan kepada orang atau lembaga yang amanah untuk mengembangkan dan mengelola hartanya itu sampai ia dewasa dan bisa mengelola sendiri harta tersebut.

Ancaman meninggalkan tata cara pembagian hukum waris

Sengaja meninggalkan tata cara pembagian hukum waris ini adalah merupakan dosa besar dan bentuk perlawanan serta pembangkangan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka kepada seorang muslim yang secara sengaja menolak hukum waris, ada ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dimasukkan ke dalam neraka. Lebih parahnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menegaskan bahwa dia akan kekal selamanya di dalam neraka serta mendapatkan azab yang menghinakan.

Ini tentunya bukan sekedar fatwa untuk menakut-nakuti, sebab yang menegaskan hal itu bukan kami, melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menegaskannya di dalam firman-Nya :

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (13) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ (14)

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisaa’ [4] : 13-14)

Di ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siska api neraka. Tidak seperti pelaku dosa lainnya, mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan akan kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan yang menghinakan.

Sungguh berat ancaman yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah ditetapkan buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan. Cukuplah ayat ini menjadi peringatan buat mereka yang masih saja mengabaikan perintah Allah. Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua.

Tidak ada seorang muslim pun yang berani menetang atau menantang kebenaran ayat ini. Sebab ancamannya tidak main-main. Hanya mereka yang tidak punya iman di dada saja yang masih ingin bermain-main dengan meninggalkan hukum waris.

Tindakan menguasai harta milik orang lain yang seharusnya dibagi-bagi secara adil berdasarkan Al-Quran Al-Karim dan sunnah adalah tindakan haram. Kalau harta itu dimakan, tentu harta yang haram itu akan menjadi darah, daging, tulang dan bagian tubuh. Kalau diberikan kepada anak dan istri, tentu mereka akan memakan harta yang berasal dari yang haram. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan kamu membawa harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 188)

Setiap harta yang kita terima, nanti di hari kiamat akan dipertanyakan. Tiap uang yang kita terima harus kita pertanggung-jawabkan di hadapan mahkamah tertinggi, pengadilan di padang Mahsyar. Manakala ada serupiah saja yang kita miliki itu ternyata didapat dari cara-cara yang melanggar ketentuan Allah, maka pasti akan menanggung akibtanya.
baca juga:

Dahsyatnya Keadaan di Padang Mahsyar


Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Umamah secara marfu’ disebutkan:

مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ» فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ

“Barangsiapa yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan masuk surga. Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu araak (kayu untuk siwak).“
baca juga:

Nama Nama Neraka Dan Siksa Teringan Neraka


Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

“Barangsiapa yang mengambil sejengkal tanah secara zhalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepadanya.”

Oleh karena itu orang yang melakukan pengambilan harta orang lain secara zhalim harus bertaubat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan mengembalikan barang atau harta itu kepada pemiliknya serta meminta maaf kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ » .

“Barangsiapa yang pernah menzhalimi seseorang baik kehormatannya maupun lainnya, maka mintalah dihalalkan hari ini, sebelum datang hari yang ketika itu tidak ada dinar dan dirham. Jika ia memiliki amal saleh, maka diambillah amal salehnya sesuai kezhaliman yang dilakukannya, namun jika tidak ada amal salehnya, maka diambil kejahatan orang itu, lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)

Merampas Hak Orang Lain Dalam Islam

Allah berfirman,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap bahtera.” (QS. Al-Kahfi [18]: 79)

Ghasab atau merampas hak orang lain

Mengambil (merampas) hak orang lain secara zhalim dan menguasainya dengan semena-mena disebut “Ghasab”. Menurut istilah fuqaha ghasab adalah:

أَخْذُ شَخْصٍ حَقَّ غَيْرِهِ والإِسْتِيْلاَءُ عَلَيْهِ عُدْوَانًا وَقَهْرًا عَنْهُ

“Mengambil dan atau menguasai hak orang lain secara zhalim dan aniaya dengan tanpa hak.” (Fiqh Sunnah jld III)

Ulama lainnya mendefinisikannya;

الغصب هو الاستيلاء على حق الغير مالاً كان أو اختصاصاً قهراً بغير حق

Ghasab adalah menguasai hak orang lain, baik bentuknya harta atau hak guna, yang dilakukan secara paksa, tanpa alasan yang benar.
baca juga:

Doa Orang Terzalimi Tiada Hijab Dengan Allah



Merampas Hak Orang Lain Dalam Islam dengan tinjauan Al Quran dan Hadist


Ghasab adalah haram. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil……...” (QS. An Nisaa’ [4]: 29)

Di samping itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal mengambil harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR. Abu Dawud dan Daruquthni, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7662)

Ketika khutbah wadaa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ، بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu terpelihara antara sesama kamu sebagaimana terpeliharanya hari ini, bulan ini dan negerimu ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَشْرَبُ الخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَنْتَهِبُ نُهْبَةً، يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Tidaklah seseorang berzina dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang meminum minuman keras ketika meminumnya dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang melakukan pencurian dalam keadaan beriman dan tidaklah seseorang merampas sebuah barang rampasan di mana orang-orang melihatnya, ketika melakukannya dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

As Saa’ib bin Yazid meriwayatkan dari bapaknya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ لَاعِبًا أَوْ جَادًّا، فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْه

“Janganlah salah seorang di antara kamu mengambil tongkat saudaranya baik main-main maupun serius. Jika salah seorang di antara kamu mengambil tongkat saudaranya, maka kembalikankah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan ia menghasankannya. Hadits ini dihasankan pula oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih At Tirmidzi)

Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Umamah secara marfu’ disebutkan:

مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ» فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ

“Barangsiapa yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan masuk surga. Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu araak (kayu untuk siwak).

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

“Barangsiapa yang mengambil sejengkal tanah secara zhalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepadanya.”

Oleh karena itu orang yang melakukan ghasab harus bertobat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan mengembalikan barang ghasab kepada pemiliknya serta meminta maaf kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang pernah menzhalimi seseorang baik kehormatannya maupun lainnya, maka mintalah dihalalkan hari ini, sebelum datang hari yang ketika itu tidak ada dinar dan dirham. Jika ia memiliki amal saleh, maka diambillah amal salehnya sesuai kezhaliman yang dilakukannya, namun jika tidak ada amal salehnya, maka diambil kejahatan orang itu, lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)

Jika barang ghasab masih ada, maka dikembalikan seperti sedia kala. Namun jika sudah binasa, maka dengan mengembalikan gantinya.
baca juga:

Taubat berdasar Al Quran dan Hadist


Menanam tanaman atau pohon atau membuat bangunan di atas sebuah tanah ghashb (rampasan)

Barangsiapa yang menanam di tanah rampasan, maka tanaman itu milik yang punya tanah, dan bagi perampas memperoleh nafkah. Hal ini, jika tanaman belum dipetik, adapun jika sudah dipetik, maka pemilik tanah tidak berhak selain upah.

Pohon yang ditanam juga wajib dicabut, demikian juga bangunan yang dibuat juga harus dirobohkan. Dalam hadits Raafi’ bin Khudaij disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ، فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُه

“Barangsiapa yang menanam di sebuah tanah milik sebuah kaum tanpa izin mereka, maka ia tidak berhak memperoleh dari tanaman itu sedikit pun, dan untuknya (perampas) nafkah yang dikeluarkannya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan ia menghasankannya, dan Ahmad, ia berkata: “Sesungguhnya saya berpegang kepada hukum tersebut atas dasar istihsan; dengan menyelisihi qiyas.”)

Abu Dawud dan Daruquthni juga meriwayatkan dari hadits Urwah bin Az Zubair bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقِ ظَالِمٍ حَقٌّ

“Barangsiapa yang menghidupkan tanah, maka tanah itu menjadi mililknya, dan untuk keringat orang yang zhalim tidak memiliki hak.”

Urwah berkata, “Telah memberitakan kepadaku orang yang menceritakan hadits ini kepadaku bahwa ada dua orang yang bertengkar lalu menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang satu menanam pohon kurma di tanah milik yang lain. Maka Beliau menetapkan (tanaman tersebut) untuk pemilih tanah karena tanahnya dan memerintahkan kepada pemilik pohon kurma untuk mengeluarkan pohon itu darinya. Ia berkata, “Sungguh, saya melihatnya ketika pohon kurma itu dipotong akarnya dengan kapak, padahal pohon itu adalah pohon kurma yang tinggi.”

Syaikh Shalih Al Fauzan dalam al-Malkhash Fiqhiy berkata, “Jika orang yang melakukan ghasab telah membuat bangunan di tanah rampasannya atau menanam di atasnya tanaman, maka ia harus melepas bangunan itu atau mencabut tanaman itu, jika pemiliknya meminta demikian. Jika tindakannya itu sampai membekas ke tanah yang dirampasnya, maka ia wajib mengganti rugi kekurangannya, di samping ia juga harus menghilangkan sisa-sisa tanaman dan bangunan sehingga ia menyerahkan tanah kepada pemiliknya dalam keadaan baik. Ia pun wajib membayar upah standar dari sejak merampas sampai menyerahkannya, karena ia mencegah pemiliknya untuk memanfaatkan di masa itu dengan tanpa hak. Jika ia merampas sesuatu dan menahannya hingga menjadi murah harganya, maka harus menanggung kekurangannya menurut pendapat sahih.”

Jika barang yang dirampas bercampur dengan barang lainnya yang bisa dibedakan seperti gandum dengan sya’ir, maka perampas wajib membersihkannya dan mengembalikannya. Namun jika bercampur dengan barang yang sulit dibedakan, seperti gandum dengan gandum, perampas wajib mengembalikan barang itu; ada berapa takar atau timbangan ketika diambilnya sebelum dicampur?

Jika dicampur dengan dengan barang yang di bawahnya atau lebih baik darinya atau tidak sejenis, namun sulit dibedakan, maka campuran itu dijual, lalu diberikan seukuran harganya masing-masing. Dan jika barang rampasan berkurang nilainya jika secara terpisah, maka perampas menanggung kekurangannya. Disebutkan oleh para fuqaha,

الْأَيْدِي الْمُتَرَتِّبَةُ عَلَى يَدِ الْغَاصِبِ كُلِّهَا أَيْدِيْ ضَمَانٍ

“Tangan-tangan yang muncul di atas tangan perampas semuanya adalah tangan tanggungan.”

Maksudnya Tangan-tangan di mana barang rampasan berpindah kepadanya melalui jalan perampas semuanya menanggung jika binasa.

Dengan demikian, jika orang kedua mengetahui hakikat sebenarnya dan bahwa orang yang memberikan barang kepadanya adalah perampas, maka ia harus menanggungnya karena ia berbuat zhalim dengan kesengajaan (diketahuinya) tanpa izin pemiliknya. Namun jika orang kedua tidak mengetahui keadaan sebenarnya, maka yang menanggung adalah perampas (orang pertama).

Jika barang rampasan adalah yang biasa disewa, maka perampas wajib mengganti upah semisalnya (standar) selama barang itu berada di tangannya. Karena manfaat adalah harta yang jelas nilainya, maka wajib ditanggung seperti menanggung barang.

Semua tindakan ghaasib (perampas) adalah batal, karena tidak ada izin pemiliknya.

Jika seseorang merampas sesuatu dan ia tidak mengetahui di mana pemiliknya serta tidak mampu mengembalikannya, maka ia bisa serahkan kepada hakim yang akan menaruhnya di tempat yang benar atau ia sedekahkan memakai nama pemiliknya. Sehingga jika disedekahkan, maka pahalanya untuk pemilik barang dan si perampas sudah lepas tanggungan.

Perbedaan Infaq dengan Sedekah/Sodaqoh

INFAQ

Asal kata infaq (إنفاق) dari bahasa arab, yaitu (أنفق – ينفق - إنفاقا) yang bermakna mengeluarkan atau membelanjakan harta. Istilah infaq dalam bahasa Arab sesungguhnya masih sangat umum, bisa untuk kebaikan tapi bisa juga digunakan untuk keburukan.

Intinya, berinfaq itu adalah membayar dengan harta, mengeluarkan harta dan membelanjakan harta. Tujuannya bisa untuk kebaikan, donasi, atau sesuatu yang bersifat untuk diri sendiri, atau bahkan keinginan dan kebutuhan yang bersifat konsumtif, semua masuk dalam istilah infaq.

Istilah infaq itu bisa diterapkan pada banyak hal :

Membelanjakan Harta

Mari kita lihat istilah infaq dalam beberapa ayat al-Qur’an, misalnya :

لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ

“Walaupun kamu membelanjakan semua yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka”. (QS. Al-Anfal [8] : 63)

Infaq adalah mengeluarkan harta, mendanai, membelanjakan, secara umum meliputi apa saja. Kata infaq tidak hanya terbatas berbuat baik di jalan Allah, tetapi untuk urusan sosial atau donasi, bahkan apapun belanja dan pengeluaran harta disebut dengan infaq.


Perbedaan Infaq dengan Sedekah/Sodaqoh disertai dalil dalam Al Quran dan Hadist


Memberi Nafkah

Kata infaq ini juga berlaku ketika seorang suami membiayai belanja keluarga atau rumah tangganya, yang sering disebut dengan nafkah. Kata nafkah tidak lain adalah bentukan dari kata infaq. Dan hal ini juga disebutkan di dalam Al-Quran :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' [4] : 34)

Jadi waktu seorang suami memberikan gaji kepada istrinya, pada hakikatnya dia juga sedang berinfaq.

Mengeluarkan Zakat

Dan kata infaq di dalam Al-Qur’an kadang juga dipakai untuk mengeluarkan harta zakat atas hasil kerja dan panen hasil bumi.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah zakat sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS. Al-Baqarah [2] : 267)

Jadi kesimpulannya, istilah infaq itu sangat luas cakupannya, bukan hanya dalam masalah zakat atau sedekah, tetapi termasuk juga membelanjakan harta, memberi nafkah bahkan juga mendanai suatu hal, baik bersifat ibadah atau pun bukan ibadah. Termasuk yang halal atau yang haram, asalkan membutuhkan dana dan dikeluarkan dana itu, semua termasuk dalam istilah infaq.

Bahkan orang yang membeli khamar atau minuman keras yang haram hukumnya, disebut mengifaqkan uangnya. Orang yang membayar pelacur untuk berzina, juga bisa disebut menginfaqkan uangnya. Demikian juga orang yang menyuap atau menyogok pejabat, juga bisa disebut menginfaqkan uangnya.

Tetapi harus diingat, semua harta yang telah diinfaq-kan pasti akan ditanya dan dimintai pertanggung-jawaban di pengadilan Allah, saat berhisab.

لَا تَزُوْلُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ.

“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi RabbNya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2416, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, jilid 10, hal 8, no. 9772 dan Hadits ini telah dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 946)

Infaq Fi Sabilillah

Ketika yang dimaksud dengan infaq adalah infak yang baik dan untuk jalan kebaikan, Al-Quran tidak menyebutnya dengan istilah infaq saja, tetapi selalu menambahinya dengan keterangan, yaitu dengan kata fi sabilillah (في سبيل الله). Infaq saja baru sekedar mengeluarkan harta. Mari kita perhatikan ayat-ayat berikut ini :

وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan belanjakanlah di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah [2] : 195)

مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir”. (QS. Al-Baqarah [2] : 261)

وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ

“Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya”. (QS. Al-Anfal [8] : 60)

وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تُنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ

“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi?”. (QS. Al-Hadid [57] : 10).

SEDEKAH

Sadaqah (صدقة) adalah membelanjakan harta atau mengeluarkan dana dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, yaitu maksudnya adalah ibadah atau amal shalih.

Ar-Raghib al-Asfahani mendefiniskan bahwa sedekah adalah :

مَا يُخْرِجُهُ الإْنْسَانُ مِنْ مَالِهِ عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ

“Harta yang dikeluarkan oleh seseorang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah”. (Kitab Al-Mufradat fi gahribil Qur’an karya Al-Asfahani)

Jadi beda antara infaq dan sedekah terletak pada niat dan tujuan, dimana sedekah itu sudah lebih jelas dan spesifik bahwa harta itu dikeluarkan dalam rangka ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah.

Sedangkan infaq, ada yang sifatnya ibadah (mendekatkan diri kepada Allah) dan juga termasuk yang bukan ibadah, bahkan ada yang di jalan yang haram.

Kata sedekah tidak bisa dipakai untuk membayar pelacur, atau membeli minuman keras, atau menyogok pejabat. Sebab sedekah hanya untuk kepentingan mendekatkan diri kepada Allah alias ibadah saja.

Sedekah yang intinya mengeluarkan harta di jalan Allah itu, ada yang hukumnya wajib dan ada yang hukumnya sunnah.

Ketika seorang memberikan hartanya kepada anak yatim, atau untuk membangun masjid, mengisi kotak amal yang lewat, atau untuk kepentingan pembangunan mushalla, pesantren, perpustakaan, atau memberi beasiswa, semua itu adalah sedekah yang hukumnya bukan wajib.

Ketika seseorang mewakafkan hartanya di jalan Allah, disebut juga dengan sedekah. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ

“Bersedekahlah dengan pokoh harta itu (kebun kurma), tapi jangan dijual, jangan dihibahkan dan jangan diwariskan”. (HR. Bukhari)

Padahal waqaf itu spesifik sekali dan berbeda karakternya dengan kebanyakan sedekah yang lain. Namun waqaf memang bagian dari sedekah dan hukumnya sunnah.

Sedekah itu memang amat luas dimensinya, bahkan terkadang bukan hanya terbatas pada wilayah pengeluaran harta saja. Tetapi segala hal yang berbau kebaikan, meski tidak harus dengan harta secara finansial, termasuk ke dalam kategori shadaqah.
baca juga:

Manfaat Shodaqoh sebagai pelebur dosa


Misalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda bahwa senyum adalah sedekah. Memerintahkan kebaikan dan mencegah kejahatan juga sedekah. Menolong orang tersesat atau orang buta, juga sedekah. Bahkan membebaskan jalanan dari segala rintangan agar orang yang lewat tidak celaka juga merupakan sedekah. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut ini :

تَبَسُّمُكَ فيِ وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَة وَأَمْرُكَ بِالمـعْرُوفِ وَنَهْيُكَ عَنِ المـنْكَرِ صَدَقَة وَإِرْشاَدُكَ الرَّجُلَ فيِ أَرْضِ الضَّلاَلِ لَكَ صَدَقَة وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ الرَدِيْءِ البَصَرِ لَكَ صَدَقَة وَإِمَاطَتُكَ الحَجَرَ وَالشَّوكَ والعِظَمَ عَنِ الطَّرِيقِ لَكَ صَدَقَة

“Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah, amar makruf dan nahi munkar adalah sedekah, penunjuki orang yang tersesat adalah sedekah, matamu untuk menunjuki orang buta adalah sedekah, membuang batu, duri atau tulang dari jalanan adalah sedekah”. (HR. Tirmidzi 1956, ia berkata: “Hasan gharib”. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib).
baca juga:

yang meninggal pun ingin kembali ke dunia untuk bersedekah


Tetapi lazimnya istilah shadaqah adalah infaq fi sabilillah, yaitu mengeluarkan harta di jalan Allah, yang dikhususkan hanya untuk kebaikan, ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Keutamaan, Syarat dan Waktu Membaca Al Quran

Al-Qur’an adalah kitab Suci yang merupakan sumber utama dan pertama ajaran Islam menjadi petunjuk kehidupan umat manusia diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai salah satu rahmat yang tak ada taranya bagi alam semesta. Di dalamnya terkumpul wahyu Ilahi yang menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa yang mempercayai serta mengamalkannya. Al-Qur’an adalah kitan suci yang terakhir diturunkan Allah, yang isinya mencakup segala pokok-pokok syari’at yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya. Karena itu setiap orang yang mempercayai Al-Qur’an, akan bertambah cinta kepadanya, cinta untuk membacanya, untuk mempelajari dan memahaminya serta pula untuk mengamalkan dan mengajarkannya sampai merata rahmatnya dirasai dan dikecap oleh penghuni alam semesta.
baca juga:

sosok wanita yang selalu berbicara dengan ayat suci Al Quran





Setiap mukmin yakin, bahwa membaca Al-Qur’an saja, sudah termasuk amal yang sangat mulia dan akan mendapat pahala yang berlipat-ganda, sebab yang dibacanya itu adalah Kitab Suci. Al-Qur’an adalah sebaik-baik bacaan bagi orang Mukmin, baik di kala senang maupun di kala susah, di kala gembira maupun di kala sedih. Malahan membaca Al-Qur’an itu bukan saja menjadi amal dan ibadah, tetapi ia juga menjadi obat dan penawar bagi orang yang gelisah jiwanya.

Keutamaan, Syarat dan Waktu Membaca Al Quran

Pada suatu ketika datanglah seseorang kepada salah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Ibnu Mas’ud r.a. meminta nasehat, katanya : Wahai Ibnu Mas’ud, berilah nasehat yang dapat aku jadikan obat bagi jiwaku yang sedang gelisah. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tentram, jiwaku gelisah dan pikiranku kusut, makan tak enak, tidurpun tak nyenyak.

Maka Ibnu Mas’ud menasehatinya, katanya : “Kalau penyakit itu yang menimpamu maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke tempat orang membaca Al-Qur’an, engkau baca Al-Qur’an atau engkau dengar baik-baik orang yang membacanya; atau engkau pergi ke Majelis Pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah; atau engkau cari waktu dan tempat yang sunyi, di sana engkau berkhalwat menyembah Allah, umpama di waktu tengah malam buta, di saat orang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, meminta dan memohon kepada Allah ketenangan jiwa, ketentraman fikiran dan kemurnian hati. Seandainya jiwamu belum juga terobat dengan cara ini, engkau minta kepada Allah, agar diberi-Nya hati yang lain, sebab hati yang kamu pakai itu, bukan hatimu lagi.”
baca juga:

stres karena tekanan hidup al quran adalah penyembuhnya


Setelah orang itu kembali ke rumahnya, diamalkannya nasehat Ibnu Mas’ud r.a itu. Dia pergi mengambil wudhu’ kemudian diambilnya Al-Qur’an, terus dia baca dengan hati yang khusyu’. Selesai membaca Al-Qur’an, berubahlah kembali jiwanya, menjadi jiwa yang tenang dan tentram, fikirannya jernih, kegelisahannya hilang sama sekali.

Dalam melaksanakan membaca Al-Qur’an, sesuai dengan syara’, hendaklah dipelihara adab-adab membacanya dengan sempurna, baik adab-adab lahir, maupun adab-adab batin. Namun sebelum itu, baiknya terlebih dahulu kita jelaskan hal-hal lain yang bertalian dengannya

Waktu waktu terpilih untuk membaca Al Quran

Sebenarnya tidak ada waktu yang makruh untuk membaca Al-Qur’an, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang menyebut nama-nama Allah. Namun, ada waktu yang utama untuk membacanya, seperti ; Pada malam hari atau antara Maghrib dan Isya, istimewa seperdua yang akhir tiap-tiap malam. Jika siang hari, maka yang lebih utama, ialah sesudah shalat fardhu, atau pada waktu Subuh.

Sedangkan hari-hari yang terbaik untuk membaca Al-Qur’an adalah ; hari Jumat, Senin, Khamis, hari ‘Arafah, sepuluh hari yang pertama di bulan Zulhijjah (1-9 Zulhijjah), hari-hari bulan Ramadhan, istimewa pada sepuluh hari yang akhir.

Membaca Al Quran dengan Mushaf

Membaca Al-Qur’an dengan melihat lansung pada mushaf dianggap suatu ibadah yang lebih baik dan dianjurkan ; hal itu lebih afdhal daripada dengan hafalan. Membaca dengan melihat itu mencakup dua ibadah, yakni membaca dan melihat. Demikianlah menurut pendapat para ulama, diantaranya Al-Qadhi Husain dan Abu Hamid Al-Ghazali.

Dalam kitab Ihya Ulumiddin diterangkan, bahwa kebanyakan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Qur’an langsung melihat mushafnya. Mereka mengganggap kurang baik atau makruh dalam satu hari tidak melihat mushaf.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Daud, beliau menerangkan, bahwa tidak ada khilaf diantara para ulama mengenai membaca Al-Qur’an dengan mushaf, kecuali jika membaca dengan hafalan merasa lebih khusyu’ daripada melihat mushaf, maka hal itu dianggap baik.

Membaca dengan berkelompok

Membaca Al-Qur’an secara berkelompok dianggap baik sekali. Sebagaimana hadis dari Abi Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidak ada orang yang berkumpul di salah satu rumah Allah untuk membaca dan mempelajari Al-Qur’an, kecuali mereka akan memperoleh ketentraman, diliputi rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan nama mereka disebut-disebut oleh Allah di kalangan malaikat.” (HR. Muslim)
baca juga:

Ketika Al Quran Menjawab


Sesungguhnya Abu Darda’ selalu membaca Al-Qur’an bersama-sama jamaah. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Daud bahwa ia selalu membaca Al-Qur’an bersama pembesar atau orang-orang terkemuka dan ulama-ulama salaf dan khalaf.

Dari Hasan Al-Auza’i telah berkata : “Bahwa orang yang pertama mengadakan tadarrus Al-Qur’an ialah Hisyam bin Ismail di masjid Damaskus, pada waktu beliau datang kepada Abdul Malik.

Adapun mengenai fadhilah atau keutamaan bagi orang yang berusaha untuk mengumpulkan orang-orang agar bertadarrus ialah berdasarkan hadis dari Anas bin Malik katanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa yang menunjukkan kepada sebuah kebaikan maka baginya seperti pahala pelakunya.” (HR. Muslim no. 1893)

إِنَّ الدَّالَّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ

“Barangsiapa yang menunjukkan orang pada jalan kebaikan, maka pahalanya sama dengan orang yang mengerjakan.” (HR. At-Tirmidzi)

Dari Sahl bin Sa’ad r.a, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

“Seandainya Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui kamu, lebih baik bagimu daripada engkau memperoleh nikmat-nikmat yang lainnya.” (HR. Bukhari)

Hadis ini sejalan dengan firman Allah :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.“ (QS. Al-Maidah {5} :2)

Tadarrus kelompok (giliran membaca), misalnya seorang membaca satu juz atau beberapa ayat, kemudian diteruskan oleh kawannya, maka hal itu adalah baik. Imam Malik pernah ditanya, dan beliau menyetujuinya.
baca juga:

Panduan menghafal Al Quran bagi anak

Jumat, 08 April 2016

Fatwa Syafi’iyah Menggugat Acara Tahlilan dan Slametan

Istilah “tahlilan” atau “slametan” sudah sangat populer di telinga kita semua, lantaran sudah menjadi adat istiadat klasik dan tradisi mayoritas kaum muslimin di seantero dunia masa kini, tak ketinggalan negeri Indonesia Raya ini, baik pedesaan maupun perkotaannya.

Ritual yang satu ini seakan sudah mendarah daging dan menjadi prevalensi (kelaziman) yang mengikat masyarakat tatkala tertimpa musibah kematian sehingga sangat jarang keluarga yang tidak menyelenggarakan ritual ini karena TAKUT DIASINGKAN masyarakatnya.

Ironinya, mereka menganggap ritual ini merupakan salah satu bentuk ibadah. Mereka juga mencuatkan opini publik bahwa ritual ini adalah ciri khas penganut madzhab Syafi’i. Padahal, jika kita menelusuri kitab-kitab klasik madzhab Syafi’iyyah, niscaya akan kita dapati bahwa ternyata justru ulama-ulama madzhab Syafi’iyyah adalah ulama terdepan dalam MENGINGKARINYA, bahkan mereka adalah PALING KERAS jika dibandingkan dengan madzhab lainnya. Lantas, kenapa malah kenyataannya sekarang justru para pengaku madzhab Syafi’i di negeri ini paling getol menyemarakkannya?!
baca juga:

Munculnya Ulama Yang Menyeru Ke Kesesatan


Nah, uraian berikut adalah nukilan-nukilan dari para ulama Syafi’iyyah tentang hal ini. Semoga menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk selalu semangat mencari kebenaran dan tidak menjadi orang yang dibutakan oleh taklid dan fanatik.



Apa Itu Tahlilan?!

Yang dimaksud “tahlilan” adalah sebuah acara yang diselenggarakan ketika salah seorang dari anggota keluarga meninggal dunia.

Gambaran acaranya sebagai berikut: Secara bersama-sama, setelah proses penguburan selesai, seluruh keluarga, handai tolan, serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga mayit (jenazah) hendak menyelenggarakan acara pembacaan beberapa ayat al-Qur’an, dzikir, berikut do’a-do’a yang ditujukan untuk mayit di alam sana. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali), acara tersebut biasa dikenal dengan istilah “tahlilan”.

Biasanya, acara ini berlangsung setiap hari hingga hari ketujuh dari saat kematian kemudian keempat puluhnya, seratus harinya, setahunnya, dan seterusnya. Pada acara tersebut, keluarga mayit menyajikan hidangan makanan/minuman yang selalu variatif kepada orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya. [Santri NU Menggugat Tahlilan hlm. 11–12 oleh Harry Yuniardi]

Apa yang disebutkan di atas adalah gambaran secara umum, sekalipun biasanya ada beberapa perbedaan antara daerah satu dengan daerah lainnya.

Hukum Syar’i Tentang Tahlilan

Bila kita cermati hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengenai hal ini serta dampak negatif acara ini, akan kita dapati bahwa acara ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat, bahkan bertentangan dengan dalil serta logika akal sehat.

Adapun dalil yang kami maksud adalah sebagai berikut:

Hadits pertama:

ﻋَﻦْ ﺟَﺮِﻳْﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﺒَﺠَﻠِﻲِّ ﻗَﺎﻝَ : ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﻌُﺪُّ ( ﻭَﻓِﻲْ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺮَﻯ ) ﺍﻹِﺟْﺘِﻤَﺎﻉَ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﺻَﻨِﻴْﻌَﺔَ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﻴَﺎﺣَﺔِ

Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, “Kami (para sahabat) menganggap (dalam riwayat lain: berpendapat) bahwa berkumpul-kumpul kepada ahli mayit dan membuat makanan setelah (si mayit) dikubur termasuk kategori NIYAHAH (MERATAPI).” [Shahih. Dikeluarkan Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnad -nya 2/204 dan ini lafalnya dan Ibnu Majah dalam Sunan -nya 1/514 no. 1612 dan dishahihkan oleh an-Nawawi, al-Bushairi, asy-Syaukani, Ahmad Syakir, dan al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz hlm. 210 cet. Maktabah Ma’arif.]

Lafal hadits ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺮَﻯ (kami berpendapat) ini kedudukannya sama seperti meriwayatkan ijmak (konsensus) para sahabat atau taqrir (persetujuan) Nabi. Jika benar yang kedua (taqrir Nabi) maka artinya hadits ini hukumnya marfu’ hukman (sampai kepada Nabi). Bagaimanapun juga, yang jelas hadits ini dapat dijadikan hujjah. [Hasyiyah as-Sindi ’ala Sunan Ibnu Majah 2/275.]

Hadits kedua:

ﺍﺻْﻨَﻌُﻮْﺍ ﻟِﺄََﻝِ ﺟَﻌْﻔَﺮَ ﻃَﻌَﺎﻣﺎً ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺟَﺎﺀَﻫُﻢْ ﻣَﺎ ﻳَﺸْﻐَﻠُﻬُﻢْ

“BUATKANLAH MAKANAN UNTUK keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan mereka.” [Shahih. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad -nya 1/205, Syafi’i dalam al-Umm 1/317, Abu Dawud: 3132, Tirmidzi: 998, Ibnu Majah: 1610, dan selainnya dengan sanad hasan. Tetapi hadits ini mempunyai syahid (penguat) dari hadits Asma’ binti Umais s\ sebagaimana diisyaratkan Syaikh Albani dalam Ahkamul Jana’iz hlm. 211 dan beliau menguatkan dengannya.]

Hadits ini sangat gamblang menjelaskan bahwa justru yang dianjurkan dalam Islam adalah kita MEMBERIKAN BANTUAN MAKANAN dan semisalnya kepada keluarga yang terkena musibah kematian BUKAN MALAH MEMBEBANI MEREKA agar membuatkan hidangan makanan dalam acara tahlilan atau slametan.

Adapun dalil logika, pantaskah bagi keluarga mayat yang tengah dilanda musibah dan kesedihan lalu malah terbebani dengan menyiapkan jamuan makanan dan berkat(!) yang sepantasnya ada di walimah pernikahan dan sejenisnya dari momen kegembiraan, yang tentu semua itu membutuhkan harta yang tidak sedikit terutama bagi orang miskin.

Oleh karenanya, banyak orang yang berekonomi lemah bersusah payah untuk hutang ke sana kemari demi terselenggaranya acara ini karena khawatir jadi cibiran masyarakatnya.

Jadi, kebiasaan manusia pada zaman sekarang untuk mengadakan acara tahlilan dan slametan termasuk bid’ah yang jelek karena beberapa alasan:

1. Ini menyelisihi sunnah Nabi dan termasuk bid’ah.

2. Menyerupai perbuatan jahiliah yang menyembelih ketika tokoh mereka meninggal.

3. Pemborosan dan membelanjakan harta yang tidak boleh.

4. Bisa jadi menzalimi ahli waris dengan penggunaan harta waris untuk acara tersebut.

5. Keluarga mayit sedang galau dan dilanda kesedihan tetapi malah harus kerepotan membuat makanan.

6. Memperbaharui kesedihan.[ Taudhihul Ahkam 3/270 dan poin terakhir tambahan dari kami.]
baca juga:

Ancaman Bagi Penentang Sunnah Rasulullah SAW


ULAMA SYAFI’IYYAH MENGGUGAT TAHLILAN

Berdasarkan dalil-dalil di atas, para ulama menegaskan tentang kandungannya, terutama para ulama Syafi’iyyah.

1. Imam Syafi’i berkata:


ﻭَ ﺃَﻛْﺮَﻩُ ﺍﻟْﻤَﺄَﺗِﻢَ ﻭَﻫِﻲَ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔَ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻟَﻬُﻢْ ﺑُﻜَﺎﺀٌ ﻓَﺈِﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﻳُﺠَﺪِّﺩُ ﺍﻟْﺤُﺰْﻥَ ﻭَ ﻳُﻜَﻠِّﻒُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻧَﺔَ ﻣَﻊَ ﻣَﺎ ﻣَﻀَﻰ ﻣِﻦَ ﺍﻷَﺛَﺮِ

“Dan saya MEMBENCI BERKUMPUL-KUMPUL (DALAM KEMATIAN) sekalipun tanpa diiringi tangisan karena hal itu akan memperbaharui kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga mayit) serta berdasarkan atsar (hadits) yang telah lalu.” [Al-Umm 1/318]

Beliau juga berkata:

ﻭَ ﺃُﺣِﺐُّ ﻟِﺠِﻴْﺮَﺍﻥِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﺃَﻭْ ﺫِﻱْ ﻗَﺮَﺍﺑَﺘِﻪِ ﺃَﻥْ ﻳَﻌْﻤَﻠُﻮْﺍ ﻟِﺄَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻓِﻲْ ﻳَﻮْﻡٍ ﻳَﻤُﻮْﺕُ ﻭَ ﻟَﻴْﻠَﺘِﻪِ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻳُﺸْﺒِﻌُﻬُﻢْ ﻓَﺈِﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﺳُﻨَّﺔٌ ﻭَ ﺫِﻛْﺮٌ ﻛَﺮِﻳْﻢٌ ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻞِ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻗَﺒْﻠَﻨَﺎ ﻭَ ﺑَﻌْﺪَﻧَﺎ .

“Dan saya menyukai agar para tetangga mayit beserta kerabatnya untuk MEMBUATKAN MAKANAN yang mengenyangkan bagi keluarga mayit di hari dan malam kematian. Karena, hal tersebut termasuk sunnah dan amalan baik para generasi mulia sebelum dan sesudah kita.” [Ibid. 1/317]

2. Imam as-Sirazi berkata:


ﻭَﻳُﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟْﺠُﻠُﻮْﺱُ ﻟِﻠﺘَّﻌْﺰِﻳَﺔِ، ﻟِﺄَﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﻣُﺤْﺪَﺙٌ، ﻭَﺍﻟْﻤُﺤْﺪَﺙُ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ

“Dan DIBENCI DUDUK-DUDUK UNTUK TAKZIAH, karena itu adalah perkara baru dalam agama, dan itu adalah bid’ah.” [Al-Muhadzdzab 1/139]

3. Imam Nawawi berkata:


“Dan adapun duduk-duduk ketika melawat maka hal ini dibenci oleh Syafi’i, pengarang kitab ini (as-Sirazi), dan seluruh kawan-kawan kami (ulama-ulama madzhab Syafi’i).

Syaikh Abu Hamid dan lain-lainnya menukil perkataan Imam Syafi’i dalam kitabnya, at-Ta’liq. Mereka mengatakan, ‘Maksud duduk-duduk di sini adalah KELUARGA MAYIT BERKUMPUL DALAM SATU RUMAH SEHINGGA ORANG-ORANG JUGA BERKUMPUL MELAWATI MEREKA. Sebaiknya mereka pergi menyelesaikan urusannya masing-masing. Bila ada yang melawat mereka ketika itu, maka itulah waktunya.

TIDAK ADA PERBEDAAN bagi laki-laki maupun perempuan akan dibencinya duduk-duduk seperti itu.’” [Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab 5/278]

Beliau juga menukil perkataan pengarang kitab asy-Syamil [Yaitu Imam Ibnu Shabbagh (477 H). Dan kitab asy-Syamil adalah penjelasan terhadap Mukhtashar al-Muzani. Ibnu Khallikan mengatakan, “Termasuk kitab Syafi’iyyah yang paling bagus, valid nukilannya dan kuat dalilnya.” (Wafayatul A’yan 3/385)] sebagai berikut:

ﻭَ ﺃَﻣَّﺎ ﺇِﺻْﻠَﺎﺡُ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻭَﺟَﻤْﻊُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﻠَﻢْ ﻳُﻨْﻘَﻞْ ﻓِﻴْﻪِ ﺷَﻴْﺊٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣُﺴْﺘَﺤَﺒَّﺔٍ

“Adapun apabila KELUARGA MAYIT MEMBUATKAN MAKANAN DAN MENGUNDANG MANUSIA UNTUK MAKAN-MAKAN, MAKA HAL ITU TIDAKLAH DINUKIL SEDIKIT PUN BAHKAN TERMASUK BID’AH, BUKAN SUNNAH.” [Al-Majmu’ 5/290. Lihat pula kitab al-Adzkar hlm. 127 karya Imam Nawawi]

4. Imam al-Fairuz Abadi berkata:


ﻭَﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟْﻌَﺎﺩَﺓُ ﺃَﻥْ ﻳُﻌَﺰِّﻱَ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮَﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟﺼَّﺒْﺮِ، ﻭَﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦِ ﺍﻟْﻌَﺎﺩَﺓُ ﺃَﻥْ ﻳَﺠْﺘَﻤِﻌُﻮْﺍ ﻟِﻠْﻤَﻴِّﺖِ، ﻭَﻳَﻘْﺮَﺅُﻭْﻥَ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ، ﻭَﻳَﺨْﺘِﻤُﻮْﻩُ ﻋِﻨْﺪَ ﻗَﺒْﺮِﻩِ، ﻭَﻟَﺎ ﻓِﻲْ ﻣَﻜَﺎﻥٍ ﺁﺧَﺮَ، ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮْﻉُ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻣَﻜْﺮُﻭْﻩٌ .

“Biasanya Rasulullah takziah kepada keluarga mayit dan menyuruh mereka agar bersabar. Dan BUKAN KEBIASAAN jika mereka berkumpul untuk mayit, membacakan al-Qur’an untuknya, dan mengkhatamkan al-Qur’an untuknya, baik di kuburannya atau lainnya. Kumpul-kumpul seperti adalah bid’ah yang tercela.” [Safar Sa’adah hlm. 111]

5. Al-Hafizh as-Suyuthi berkata:


ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻟْﺒِﺪَﻉِ ﺍﻹِﺟْﺘِﻤَﺎﻉُ ﻟِﻌَﺰَﺍﺀِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ … ﻭَﻛَﺬَﺍ ﺍﺟْﺘِﻤَﺎﻉُ ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻲْ ﻭَﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺚَ

“TERMASUK PERKARA BID’AH ADALAH BERKUMPUL-KUMPUL KEPADA KELUARGA MAYIT … (kemudian beliau menukil perkataan Imam Syafi’i di atas tadi) dan juga kumpul-kumpulnya kaum lelaki di kuburan mayit pada hari kedua dan ketiga.” [Al-Amru bil Ittiba’ hlm. 288]

6. Imam Ibnu Nahhas mengatakan ketika menjelaskan tentang bid’ah-bid’ah seputar jenazah:


ﻭَﻣِﻨْﻬَﺎ : ﻣَﺎ ﻳَﻔْﻌَﻠُﻪُ ﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻣِﻦَ ﺍﻷَﻃْﻌِﻤَﺔِ ﻭَﻏَﻴْﺮِﻫَﺎ، ﻭَﺩَِﻋْﻮَﺓِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﻭَﻗِﺮَﺍﺀَﺓِ ﺍﻟْﺨَﺘَﻤَﺎﺕِ، ﻭَﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﻔْﻌَﻞْ ﺫَﻟِﻚَ ﻛَﺎﻥَ ﻛَﺄَﻧَّﻪُ ﻗَﺪْ ﺗَﺮَﻙَ ﺃَﻣْﺮًﺍ ﻭَﺍﺟِﺒًﺎ، ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ ﻣَﻦْ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﺗَﺒَﺮُّﻋُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻮَﺭَﺛَﺔِ، ﻓَﻬُﻮَ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﻜْﺮُﻭْﻫَﺔٌ ﻟَﻢْ ﺗَﺮِﺩْ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢِ، ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺘَّﺮِﻛَﺔِ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻳَﺘِﻴْﻢٌ ﺃَﻭْ ﻏَﺎﺋِﺐٌ، ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﻮِْﺹِِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖُ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺣَﺮُﻡَ ﺍﻷَﻛْﻞُ ﻣِﻨْﻬَﺎ، ﻭَﺣُﻀُﻮْﺭُﻫَﺎ، ﻭَﻭَﺟَﺐَ ﺇِﻧْﻜَﺎﺭُﻫَﺎ، ﻭَﻣَﻨْﻌُﻬَﺎ

“Di antaranya adalah apa yang dilakukan oleh kerabat mayit berupa membuat makanan dan selainnya, dan mengundang manusia kepadanya serta membaca khataman. Barangsiapa yang tidak melakukan hal itu maka seakan-akan telah meninggalkan suatu kewajiban. Hal ini jika diambil dari harta ahli waris yang boleh dipergunakan maka HUKUMNYA BID’AH TERCELA, tidak ada contohnya dari salaf shalih. Dan jika dari peninggalan untuk anak yatim atau orang yang tidak ada padahal mayit tidak mewasiatkan harta tersebut maka haram memakannya dan menghadirinya serta wajib mengingkari dan melarangnya.” [Tanbihul Ghafilin hlm. 301]

7. Imam al-Munawi berkata ketika menjelaskan hadits


“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far”:

ﻓَﻴُﻨْﺪَﺏُ ﻟِﺠِِﻴْﺮَﺍﻥِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﺃَﻗَﺎﺭِﺑِﻪِ ﺍﻷَﺑَﺎﻋِﺪِ ﺻُﻨْﻊُ ﺫَﻟِﻚَ، ﻭﻳَﺤْﻠِﻔُﻮْﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻷَﻛْﻞِ، ﻭَﻻَ ﻳُﻨْﺪَﺏُ ﻓِﻌْﻞُ ﺫَﻟِﻚَ ﻷَﻫْﻠِﻪِ ﺍﻷَﻗْﺮَﺑِﻴْﻦَ، ﻷَﻧَّﻪُ ﺷُﺮِﻉَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴُّﺮُﻭْﺭِ، ﻟَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸُّﺮُﻭْﺭِ، ﻓَﻬُﻮَ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻗَﺒِﻴْﺤَﺔٌ، ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺍﻟﻨَّﻮَﻭِﻱُّ ﻭَﻏَﻴْﺮُﻩُ

“Maka dianjurkan bagi para tetangga mayat dan para kerabatnya yang jauh untuk membuatkan makanan keluarga mayit dan mendesaknya untuk makan. Namun, hal itu tidak dianjurkan bagi keluarganya terdekat karena membuat makanan itu disyari’atkan ketika kegembiraan bukan kesedihan, hal itu adalah BID’AH yang jelek sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi dan lainnya.” [Faidhul Qadir 1/534]

8. Ibnu Hajar al-Haitami

Beliau ditanya tentang kebiasaan manusia pada hari ketiga setelah kematian, mereka membuat makanan lalu membagikannya kepada orang fakir dan sebagainya, demikian juga pada hari ketujuh dan genap sebulannya berupa roti yang dibagikan ke rumah para wanita yang menghadiri jenazah sebagaimana adat penduduk setempat. Barangsiapa yang tidak melakukan hal itu maka dia akan dicela dan dicibir. Apakah jika mereka melakukan hal itu baik dengan niat adat atau sedekah diperbolehkan hukumnya, atau bagaimana?

Beliau menjawab:

ﺟَﻤِﻴْﻊُ ﻣَﺎ ﻳُﻔْﻌَﻞُ ﻣِﻤَّﺎ ﺫُﻛِﺮَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴُّﺆَﺍﻝِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺒِﺪَﻉِ ﺍﻟْﻤَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔِ

“Semua perbuatan yang disebut dalam pertanyaan di atas termasuk perkara BID’AH YANG TERCELA.” [Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra 2/7]

9. Syaikh Ahmad Zaini Dahlan,

mufti Syafi’iyyah Makkah, pernah ditanya masalah ini lalu dia menjawab:

ﻧَﻌَﻢْ , ﻣَﺎ ﻳَﻔْﻌَﻠُﻪُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻣِﻦَ ﺍﻻِﺟْﺘِﻤَﺎﻉِ ﻋِﻨْﺪَ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﺻُﻨْﻊِ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺒِﺪَﻉِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮَﺓِ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﻳُﺜَﺎﺏُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻨْﻌِﻬَﺎ ﻭَﺍﻟِﻲ ﺍﻷَﻣْﺮِ ﺛَﺒَّﺖَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻪِ ﻗَﻮَﺍﻋِﺪَ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﻭَﺃَﻳَّﺪَ ﺑِﻪِ ﺍﻹِﺳْﻠَﺎﻡَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ

“Benar, apa yang dilakukan kebanyakan manusia berupa kumpul-kumpul pada keluarga mayit dan membuatkan makanan termasuk perkara BID’AH YANG MUNGKAR. Apabila pemerintah—yang Allah menguatkan sendi-sendi Islam dengannya—melarang hal ini, dia akan diberi pahala.”

Kemudian Syaikh Zaini Dahlan menukil perkataan Ahmad bin Hajar dalam Tuhfatul Muhtaj lalu berkata:

ﻭَﻟَﺎ ﺷَﻚَّ ﺃَﻥَّ ﻣَﻨْﻊَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣِﻦْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮَﺓِ ﻓِﻴْﻪِ ﺇِﺣْﻴَﺎﺀُ ﻟِﻠﺴُّﻨَّﺔِ ﻭَﺇِﻣَﺎﺗَﺔٌ ﻟِﻠْﺒِﺪْﻋَﺔِ ﻭَﻓَﺘْﺢٌ ﻟِﻜَﺜِﻴْﺮٍ ﻣِﻦْ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻏَﻠْﻖٌ ﻟِﻜَﺜِﻴْﺮٍ ﻣِﻦْ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟﺸَّﺮِّ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻳَﺘَﻜَﻠَّﻔُﻮْﻥَ ﺗَﻜَﻠُّﻔًﺎ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻳُﺆَﺩِّﻱْ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟﺼُّﻨْﻊُ ﻣُﺤَﺮَّﻣًﺎ

“Tidak ragu lagi bahwa melarang manusia dari BID’AH yang mungkar ini termasuk MENGHIDUPKAN SUNNAH DAN MEMATIKAN BID’AH, membuka pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu kejelekan. Sebab banyak di antara manusia, mereka memberatkan dir-diri mereka sehingga menjurus kepada keharaman.” [I’anah Thalibin juz 2 hlm. 145–146 oleh Syaikh Abu Bakar Muhammad Syatha]

Setelah menukil fatwa Syaikh Zaini Dahlan, mufti Syafi’iyyah Makkah, penulis (Syaikh Abu Bakar Muhammad Syatha, Red.) kemudian menukil fatwa Syaikh Abdurrahman bin Abdulah Siraj al-Hanafi, mufti Hanafiyyah Makkah, lalu berkata: “Fatwa serupa juga dikeluarkan oleh mufti Malikiyyah dan mufti Hanabilah.” [Ibid. 2/146]

10. Syaikh Ali Mahfuzh

Setelah menukil ucapan para ulama madzhab empat tentang kumpul untuk takziah dan membuatkan makanan untuk mereka, Syaikh Ali Mahfuzh mengatakan, “Kesimpulannya, apa yang dilakukan oleh manusia sekarang berupa membuatkan makanan untuk para penakziah dan mengeluarkan dana untuk acara kematian, ketujuh dan empat puluh harinya, dan seterusnya; semua itu TERMASUK BID’AH YANG TERCELA DAN MENYELISIHI PETUNJUK RASULULLAH DAN PARA SALAF SHALIH SETELAHNYA.

Bahkan (perbuatan itu) seringkali MENYEBABKAN KESULITAN karena para keluarga mayit akan bersusah payah membuat makanan mewah yang tidak biasanya sekalipun dengan berhutang atau menjual barang. Anehnya, mereka menyangka bahwa hal itu adalah untuk sedekah yang pahalanya akan sampai kepada mayit, padahal makanan tersebut kebanyakannya malah masuk ke perut orang-orang yang mampu, sedangkan orang yang miskin, sekalipun minta, mereka tidak dapat, kalaupun dapat maka hanyalah sisa-sianya saja.”

Beliau melanjutkan, “Daripada menyia-nyiakan harta untuk acara BID’AH yang tidak diizinkan oleh syari’at dan tidak diterima oleh akal, sewajibnya bagi bagi ahli waris untuk membayarkan hutang mayit pada manusia, sebab mereka adalah penanggung jawab setelahnya di dunia dan akhirat.”[ Al-Ibda’ fi Madharil Ibtida’ hlm. 211–212]

11. Syaikh Ahmad bin Hajar alu Buthami

Ketika menyebutkan tentang bid’ah-bid’ah seputar jenazah, beliau berkata, “Acara slametan ini TIDAK DIPERSELISIHKAN TENTANG KEHARAMANNYA karena termasuk makan harta dengan cara yang batil.

Oleh karenanya, sebagian orang belakangan yang biasanya melegalkan bid’ah dengan bid’ah hasanah(!) menegaskan bahwa acara ini termasuk bid’ah yang sesat karena:

Pertama: Menyelisihi sunnah, sebab justru para tetangganyalah yang seharusnya membuatkan makanan bagi kerabat mayit, sebagaimana dalam hadits: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far.’

Kedua: Pemborosan harta

Ketiga: Makan harta manusia dengan cara batil karena bisa jadi ahli waris adalah orang yang fakir miskin atau masih anak-anak, apalagi kadang-kadang manusia berhutang karena takut dicemooh oleh masyarakatnya sebab tidak mengadakan acara bid’ah ini.” [Tahdzirul Muslimin hlm. 278]

Demikianlah perkataan ulama madzhab Syafi’i. Akan tetapi, aneh tapi nyata, mengapa para tokoh agama di negeri ini yang menisbahkan dirinya kepada madzhab Syafi’i malah justru sebagai pelopor utama dalam menentang madzhab Syafi’i.

Wallahul Musta’an .

Dan lebih lucu lagi cerita sebagian ustadz ketika menyampaikan ucapan para ulama madzhab Syafi’i di atas yang sangat keras menentang acara tersebut kepada salah seorang penggiat acara, dengan entengnya dia menjawab, “Kita ini sudah banyak mengikuti madzhab Syafi’i, jadi sekali-kali bolehlah kita menyelisihinya!!”
Baca juga:

Orang Pembuat Ajaran Baru Akan Terusir Dari Telaga Rasulullah Di Padang Mahsyar


Written by : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Kamis, 07 April 2016

Orang Orang Yang Terusir Dari Telaga Rasulullah Di Padang Mahsyar

Orang Orang Yang Terusir Dari Telaga Rasulullah Di Padang Mahsyar -ٱلرَّحِيمِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱللهِ بِسۡمِ
“…… Ketahuilah bahwa akan ada dari umatku yang diusir oleh Malaikat, sebagaimana seekor unta yang tersesat dari pemiliknya dan mendatangi tempat minum milik orang lain, sehingga iapun diusir…….”

Ketika Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pulang dari haji wada’ dan kurang dari tujuh hari sebelum wafatnya, turunlah ayat al-Qur’an paling akhir :

وَٱتَّقُواْ يَوۡمً۬ا تُرۡجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِ‌ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا ڪَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ

Artinya : “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Alloh - Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (Q.S: al-Baqarah: 281).

Hukuman orang yang suka membuat ajaran dan syariat baru dalam agama

Sahabat Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu mengisahkan: pada suatu hari Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi kuburan para syuhada perang Uhud, lalu beliau mengucapkan salam:

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

Artinya : “Semoga keselamatan senantiasa menyertai kalian wahai penghuni kubur dari kaum Mukminin dan kaum Muslimin.

Sesungguhnya kami InsyaAlloh akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Alloh untuk kami dan kamu sekalian, agar diberi keselamatan (dari apa yang tidak diinginkan). “ (HR. Imam Muslim dan Ibnu Majah).

Selanjutnya beliau bersabda:

“Aku sangat berharap untuk dapat melihat saudara-saudaraku“.

Mendengar ucapan ini, para sahabat keheranan, sehingga mereka bertanya: “bukankah kami adalah saudara-saudaramu wahai Rosululloh?”. Rosululloh menjawab :

ﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻲ ﻭَﺇِﺧْﻮَﺍﻧُﻨَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﺗُﻮﺍ ﺑَﻌْﺪُ

“Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedangkan saudara-saudaraku adalah umatku yang akan datang kelak, mereka beriman kepadaku sedang mereka belum pernah melihatku.” “.

Kembali para sahabat bertanya:

“Wahai Rosululloh, bagaimana engkau dapat mengenali umatmu yang sampai saat ini belum lahir?“.

Beliau menjawab:

ﺃَﺭَﺃَﻳْﺖَ ﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﻟَﻪُ ﺧَﻴْﻞٌ ﻏُﺮٌّ ﻣُﺤَﺠَّﻠَﺔٌ ﺑَﻴْﻦَ ﻇَﻬْﺮَﻱْ ﺧَﻴْﻞٍ ﺩُﻫْﻢٍ ﺑُﻬْﻢٍ ﺃَﻟَﺎ ﻳَﻌْﺮِﻑُ ﺧَﻴْﻠَﻪُ

“Menurut pendapat kalian, andai ada orang yang memiliki kuda yang di dahi dan ujung-ujung kakinya berwarna putih dan kuda itu berada di tengah-tengah kuda-kuda lainnya yang berwarna hitam legam, tidakkah orang itu dapat mengenali kudanya?”

Para sahabat menjawab : “tentu saja orang itu dengan mudah mengenali kudanya“.

Maka Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam menimpali jawaban mereka dengan bersabda:

ﻓَﺈِﻧَّﻬُﻢْ ﻳَﺄْﺗُﻮﻥَ ﻏُﺮًّﺍ ﻣُﺤَﺠَّﻠِﻴﻦَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀِ، ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻓَﺮَﻃُﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﻮْﺽِ ﺃَﻟَﺎ ﻟَﻴُﺬَﺍﺩَﻥَّ ﺭِﺟَﺎﻝٌ ﻋَﻦْ ﺣَﻮْﺿِﻲ ﻛَﻤَﺎ ﻳُﺬَﺍﺩُ ﺍﻟْﺒَﻌِﻴﺮُ ﺍﻟﻀَّﺎﻝُّ

“Sesungguhnya umatku pada hari Kiamat akan datang dalam kondisi wajah dan ujung-ujung tangan dan kakinya bersinar pertanda mereka berwudlu semasa hidupnya di dunia“.

Aku akan menanti umatku di pinggir telagaku di alam mahsyar.

Dan ketahuilah bahwa akan ada dari umatku yang diusir oleh Malaikat, sebagaimana seekor unta yang tersesat dari pemiliknya dan mendatangi tempat minum milik orang lain, sehingga iapun diusir.

Melihat sebagian orang yang memiliki tanda-tanda pernah berwudlu, maka aku memanggil mereka: “kemarilah“.

Namun para Malaikat yang mengusir mereka berkata:

ﻓَﻴُﻘَﺎﻝُ : ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻗَﺪْ ﺑَﺪَّﻟُﻮﺍ ﺑَﻌْﺪَﻙَ

“Kenyataannya mereka sepeninggalmu telah merubah-rubah ajaranmu“.

Mendapat penjelasan semacam ini, maka Aku (Rosululloh) berkata:

ﺳُﺤْﻘًﺎ ﺳُﺤْﻘًﺎ ﻟِﻤَﻦْ ﺑَﺪَّﻝَ ﺑَﻌْﺪِﻱ

“Menjauhlah, menjauhlah wahai orang-orang yang sepeninggalku merubah-rubah ajaranku” (HR. Bukhari dan HR. Muslim).
Baca juga:

Munculnya Ulama Yang Menyeru Ke Kesesatan



Orang Orang Yang Terusir Dari Telaga Rasulullah Di Padang Mahsyar disertai penjelasan dengan dalil dari Al QUran dan Hadist


Merubah-rubah ajaranku maksudnya adalah menambah-nambah atau mengurang-ngurangi ajaran yang dibawa oleh Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Oleh karena itu dalam beribadah, jagalah kemurnian ajaran ini dan amalkanlah dengan seutuhnya tanpa ditambah atau dikurangi, karena agama ini sudah sempurna seperti yang tertuang dalam ayat berikut ini :

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَـٰمَ دِينً۬ا‌ۚ

Artinya : "....Pada hari ini telah KU-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah KU-cukupkan kepadamu ni’mat-KU, dan telah KU-ridhai Islam itu jadi agama bagimu..." (QS. al-Maaidah: 3)

Maka agama ini sudah sempurna dan sernua syari'at ataupun peribadatan agama ini sudah disampaikan oleh baginda Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam kepada ummatnya, janganlah ditambah-tambah dan dikurang-kurangi.

Mari kita berpikir secara sederhana, seandainya saja ada salah satu syari'at ibadah yang kita lakukan namun tidak ada contoh dari Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam tidak juga mengajarkannya, maka hal ini sama saja kita menuduh agama ini belum sempurna dan Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam belum menyampaikan atau menyembunyikan syari'at ibadah dimaksud.

Dan yang lebih berbahaya lagi, bila kita beribadah tidak mengikuti Nabi, maka berarti kita lebih hebat ilmu agamanya dari Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam karena kita mengerjakan ibadah tersebut tidak berasal dari tuntunan beliau tetapi berasal dari hawa nafsu ataupun kreasi kita, na'udzubillahimindzalik.

Allah tabaraka wa ta'ala berfirman yang artinya:

وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٲطِى مُسۡتَقِيمً۬ا فَٱتَّبِعُوهُ‌ۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّڪُمۡ تَتَّقُونَ

Artinya : "Dan bahwa (yang KAMI perintahkan) ini adalah jalan-jalan-KU yang lurus, maka ikutilah dia (Muhammad); dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-NYA. Yang demikian itu diperintahkan oleh Alloh kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-an’am: 153).

Ibnu abbas radhiyallahu 'anhu mengatakan Allah ta'ala melalui ayat di atas memerintahkan kaum muslimin untuk tetap bersatu dalam jama'ah mengikuti sunnah (jalan yang ditempuh Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam) dan melarang berselisih & bercerai berai dalam agama. (Tafsir Imam Ibnu Katsir).

Bahkan dalam ayat yang lain Allah ta'ala juga berfirman:

أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِ‌ۚ

Artinya:"Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya". (QS. Asy-Syuuraa: 13).

Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu mengatakan Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam membuat garis dengan tangannya kemudian beliau mengatakan, "Ini adalah jalan Allah yang lurus, lalu beliau membuat garis disebelah kanan dan kirinya, kemudian beliau bersabda: 'Jalan-jalan ini, tidak ada satu jalanpun dari jalan-jalan tsb melainkan diatasnya terdapat syaitan yang mengajak ke jalan itu. (Tafsir Imam Ibnu Katsir semoga dirahmati Alloh).
baca juga:

Akibat Bagi Orang Yang Mengajarkan Sihir Amalan Bid'ah


Agar selamat tidak mudah di sesatkan ajaran dan pemikiran yang melenceng dalam agama

Ikhwan - Akhwat yang dirahmati Alloh subhanahu wa ta'ala,belajarlah ilmu agama sesuai dengan pemahaman para Sahabat yang terdahulu, karena merekalah generasi terbaik, agar kita selamat dapat bertemu dan bergabung dengan Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam di tepi telaga.

Ikutilah kajian-kajian ilmu agama yang sesuai Sunnah, yaitu sesuai dengan pemahaman para sahabat. Dan yang paling penting juga adalah saat membaca Al Quran juga harus menghafal arti dan serta belajar semua hadist shahih dari Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Dengan cara seperti itu kita akan paham dan tidak mudah disesatkan oleh pemikiran pemikiran yang keliru. Walau itu disampekan oleh orang yang disebut ulama. Karena di zaman sekarang begitu banyak fitnah, bagaimana kita dapat mengikuti jalan yang satu ini, tanpa kita belajar dan mengikuti kajian maupun ta'lim-ta’lim yang didalamnya disampaikan pesan-pesan dari Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sehingga kita mengetahui bagaimana para sahabat dalam menjalankan syariat agama yang mulia ini, karena merekalah generasi terbaik umat ini.

Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (HR. Al-Bukhari, no. 3650).

Pada masaku dalam hadits ini adalah para sahabat, mereka adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat dan paling mengetahui dalam memahami Islam.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu , ia mengatakan: Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam berdiri ditengah-tengah kami untuk memberi nasihat dengan sabdanya: "Wahai manusia, kalian akan dikumpulkan kehadapan Alloh dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berbusana dan tidak bersunat.

Sesungguhnya orang pertama kali yang diberi pakaian pada hari kiamat Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam

Ketahuilah bahwa sejumlah orang dari umatku didatangkan, lalu mereka diseret ke sebelah kiri (Neraka), maka aku katakan, 'Mereka adalah para pengikutku'. Maka dikatakan kepadaku:' Engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat sepeninggalmu'.

Mendengar hal itu aku mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh seorang hamba yang shalih (Isa' bin Maryam 'Alaihi Salam): 'Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada diantara mereka. Maka setelah ENGKAU wafatkan aku, ENGKAU-lah yang mengawasi mereka.

Dan ENGKAU Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika ENGKAU menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-MU, dan jika ENGKAU mengampuni mereka, sesungguhnya ENGKAU-lah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana'. (HR. Abu Dawud dan al-Bukhori).

Sungguh indah, mulia dan bijaknya kalimat di atas, kalimat yang mengagungkan Allah jallat `azhamatuhu dan berharap agar Alloh Subhanahu wa ta'ala mengampuni hamba-hamba-NYA yang bersalah.

Dalam suatu riwayat Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Al Kautsar adalah sungai yang dijanjikan oleh Robb -ku Azza wa jalla. Sungai tersebut memiliki kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang nanti akan didatangi oleh umatku pada hari kiamat nanti. Bejana (gelas) di telaga tersebut sejumlah bintang di langit.

Namun ada dari sebagian hamba yang tidak bisa minum dari telaga tersebut.

Aku mengatakan ya Robb mereka adalah umatku, Alloh berfirman: Tidakkah engkau tahu bahwa mereka telah berbuat hal-hal yang baru dalam agama sepeninggalmu.” (HR. Muslim no. 400).

Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah radhiyallahu 'anhuا , dia berkata: “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam urusan agama kami ini, berupa apa-apa yang bukan darinya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak kami perintahkan dalam agama kami, maka itu tertolak.”

Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu 'anhu , ia berkata: “Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu golongan masuk Surga dan yang tujuh puluh di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, yang tujuh puluh satu golongan di Neraka dan yang satu di Surga.

Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di tangan-NYA, umatku benar-benar akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang satu di Surga, dan yang tujuh puluh dua golongan di Neraka,’ Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu) wahai Rosululloh?’ Beliau menjawab, ‘Al-Jama’ah.' (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Imam Ahmad).

Siapakah yang dimaksud dengan Al-Jama’ah pada hadits diatas? merekalah golongan yang selamat dari kesesatan, golongan yang selamat dari api neraka sebagaimana telah dikecualikan oleh Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pada hadits diatas.

Mereka tetap berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, dan apa-apa yang dipegang oleh As-saabiqunal awwalun (para pendahulu yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana disabdakan oleh Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam : " Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini."


Maka bila kita ingin selamat dunia dan akhirat, kita wajib mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan para Sahabatnya, karena nanti di hari Kiamat ada sebagian umat ini yang tidak selamat.

Bahkan sesuai hadits riwayat al Irbadh bin Sariyah yang cukup panjang kita diperintahkan untuk berpegang teguh pada Sunnah Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan Sunnah para Khulafa’ur Rasyidin (orang-orang yang mendapat petunjuk) bila beliau telah tiada, maka gigitlah Sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap perkara-perkara baru dalam agama adalah sesat". (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).-

InsyaAlloh kita sudah memeluk Islam, namun kita jangan terlena, karena syaitan terus berupaya menyesatkan keislaman kita agar menyimpang jauh dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Di hari kiamat nanti orang-orang yang menempuh jalan lain selain jalan yang ditempuh Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam akan menyesal, namun penyesalan itu tidak ada gunanya sama sekali.
baca juga:

Ancaman Bagi Penentang Sunnah Rasulullah SAW



Allah tabaraka wa ta'ala berfirman :

وَيَوۡمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيۡهِ يَقُولُ يَـٰلَيۡتَنِى ٱتَّخَذۡتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلاً۬ (٢٧) يَـٰوَيۡلَتَىٰ لَيۡتَنِى لَمۡ أَتَّخِذۡ فُلَانًا خَلِيلاً۬ (٢٨) لَّقَدۡ أَضَلَّنِى عَنِ ٱلذِّڪۡرِ بَعۡدَ إِذۡ جَآءَنِى‌ۗ وَڪَانَ ٱلشَّيۡطَـٰنُ لِلۡإِنسَـٰنِ خَذُولاً۬ (٢٩)

Artinya : "Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rosul." (27) Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab (ku). (28) Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an ketika Al Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. (29) (QS. al-Furqon: 27-29).

Ya Alloh jadikanlah kami orang-orang yang mendapat syafa’at Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pada hari Kiamat kelak.

Aamiin.
baca juga:

Cara dan doa agar tetap istiqomah dijalan Allah


Mahasuci ENGKAU, ya Alloh aku memuji-MU. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain ENGKAU, aku memohon ampunan dan bertaubat kepada-MU.

Bertakwalah kepada Alloh azza wa jalla di mana pun kita berada, dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.

Shalawat serta salam semoga senantiasa selalu dilimpahkan kepada Rosulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam - keluarga, para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan mereka yang senantiasa setia dijalan-NYA yang lurus hingga hari Akhir.

Artikel Terbaru